Menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun ini kembali Sinemart meluncurkan sebuah film bernuansakan islami. Setelah tahun lalu menyuguhkanFilm Dalam Mihrab Cinta yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik), kali ini Sinemart juga mengangkat novel dari pengarang yang sama berjudul Cinta Suci Zahrana.
Sebenarnya Novel Cinta Suci Zahrana bukanlah sebuah novel baru, sebelumnya ini telah dituangkan Kang Abik dalam sebuah kumpulan cerita.
Kembali mengangkat tema romansa relijius, Cinta Suci Zahrana tampil dengan fokus tema yang cukup menggelitik, yakni fenomena wanita yang terlambat menikah yang kini kian banyak dijumpai dalam keseharian kita. Kang Abik mencoba menyampaikan bagaimana Islam memandang hal ini.
TIDAK BERBEDA DENGAN NOVEL
Buat yang telah membaca novelnya, film ini tidaklah terlalu berbeda dalam menuturkan jalan cerita. Hanya saja kisah tentang Zahrana yang menerima penghargaan internasional di China tidak digambarkan di film ini. Padahal adegan ini yang pertama kali saya bayangkan ketika membaca novel ini, bagaimana Zahrana (Rana) sempat berkeliling China dengan segala peninggalan keislaman di negeri tirai bambu tersebut. Mungkin kendala budget sehingga adegan ini ditiadakan.
Satu lagi perbedaan yang saya ingat adalah di dalam film digambarkan proses lamaran Ibunda H**an yang dilakukan setahun setelah Zahrana sembuh dari sakitnya, padahal di novel lamaran ini dilakukan bahkan ketika Zahrana masih dirawat di rumah sakit.
Tidak ada perubahan signifikan lainnya. Secara keseluruhan film ini sama persis dengan novelnya.
JALINAN CERITA
Jalinan cerita terasa agak kurang nyaman untuk dinikmati. Ada beberapa alur yang terasa sangat panjang dan cenderung membosankan, di sisi lain ada juga alur yang terkesan terpotong-potong.
Jika kita membaca novelnya memang alur mengalir landai begitu saja, tidak ada konflik yang berarti, hanya pergulatan batin Zahrana yang banyak mendominasi. Hadir sosok Lina sahabatnya sebagai penyeimbang kegalauan yang mendera Rana.
Demikian juga dengan alur di film ini yang mengalir dengan landai. Konflik batin Rana terhadap keinginan orang tuanya sangat mendominasi di sini. Walaupun memang menurut saya ini masih kurang bisa divisualisasikan dengan cerdas. Adegan lebih banyak menyuguhkan Rana yang hanya bisa menangis dan berdoa menghadapi kenyataan jodohnya yang tak kunjung tiba. Padahal mungkin konflik batin Rana ini bisa digambarkan dengan jauh lebih cantik dan kreatif.
Penggambaran ketika Rana mendengar kematian calon suaminya serta bagaimana proses kecelakaannya adalah salah satu contoh adegan yang tidak ditampilkan dalam film ini. Padahal ini sangat mempengaruhi jalan cerita serta akan mampu menguras emosi penonton. Sayangnya malah ini dihilangkan. Sehingga terasa cerita agak melompat-lompat.
Kang Abik senang dengan penyelesaian jalan cerita berupa kematian salah satu tokoh. Sebagaimana yang kita jumpai pada cerita Dalam Mihrab Cinta, kali ini Cinta Suci Zahrana pun memiliki hal yang sama, bahkan 2 tokoh sekaligus. Mungkin ke depan kita mengharapkan penyelesaian/awal konflik dalam cerita Kang Abik tidak lagi berupa kematian sang tokoh.
GAMBAR
Ada beberapa scene yang coba mengambil gambar dari sudut pandang yang sangat luas, namun sayang sekali hasilnya agak goyang. Kentara sekali ini diambil dengan pesawat helikopter. Ini cukup mengganggu, padahal jika gambar tertangkap dengan stabil view yang disajikan sangatlah indah.
Sudut pengambilan gambar film ini masih tidak berbeda dengan sinetron-sinetron yang biasa kita tonton di televisi. Ini terus terang menjadi pekerjaan rumah besar bagi film-film Kang Abik mendatang yang disutradarai oleh Kang Umam untuk lebih kreatif dalam pengambilan gambar.
KARAKTER DAN PEMAIN
Beberapa detik melihat tokoh Sukarman, dekan fakultas teknik sekaligus atasan Zahrana, penonton akan langsung bisa menyimpulkan bahwa ia adalah tokoh antagonis. Sangat sinetron sekali.
Penonton seolah dianggap kurang cerdas dalam mengenal karakter sang tokoh antagonis ini, sehingga ia dirasa perlu ditampilkan amat sangat lugas dari perkataan, bahasa tubuh, dan perilakunya. Hasilnya adalah tokoh ini cenderung tampil berlebihan dan sangat tidak natural. Padahal sebagai sosok yang jahat, Sukarman bisa juga digambarkan sebagai sosok yang dingin, berwibawa, terkesan bijaksana dan karakter yang lebih soft lainnya.
Dalam novel sosok Zahrana digambarkan sebagai seorang wanita yang tangguh, disiplin, pekerja keras, pantang menyerah dan ambisius dalam meraih target-targetnya. Di film sama sekali berbeda, Meyda Sefira tampil memerankan Zahrana yang terkesan rapuh, lemah, dan pasrah pada keadaan. Kegigihan Zahrana dalam meniti prestasi akademisnya hingga diakui secara internasional sama sekali tidak tergambar di sini.
Tokoh kunci lain dalam film ini adalah Hasan (Miller Khan). Dalam film ini Hasan cukup sering dihadirkan dalam banyak adegan. Sehingga ending cerita nampak tidak memberikan kejutan yang berarti bagi penonton. Ini berbeda dengan di novel, sosok Hasan hanya hadir beberapa kali sehingga terkesan hanya sebagai pelengkap cerita. Dengan demikian ending di novel cukup memberikan kejutan manis bagi pembacanya.
Jika saja Hasan hanya hadir sesekali saja di sepanjang film pasti kejutan di ending cerita akan sangat menarik buat penonton. Tentang bagaimana perasaannya terhadap Zahrana cukup ditampilkan dengan beberapa adegan flash back. Ini pasti akan lebih manis dan akan memberikan efek kejut yang lebih bagi penonton.
Sosok Lina sebagai sahabat dekat Rana cukup apik dimainkan. Lina adalah tokoh yang sangat berarti bagi Rana, ini persis sebagaimana yang tergambar dalam novel.
Cholidi Asadil Alam (Odi), pemeran Azzam dalam Ketika Cinta Bertasbih ini kebagian peran kecil dalam film ini. Sebagai Rahmad, seorang duda muda yang berprofesi sebagai penjual kerupuk keliling ini Odi mampu memerankannya dengan sangat baik.
Tokoh perfilman lawas turut hadir meramaikan film ini. Misalnya kehadiran Lenny Marlina sebagai ibunda hasan cukup tampil natural sehingga mampu menghidupkan cerita dengan lebih baik. Demikian pula El Manik yang tampil apik sebagai kyai sepuh pondok pesantren.
Para pemain dalam film ini adalah juga pemain dalam beberapa film Kang Abik sebelumnya. Hal ini cukup mengganggu buat saya pribadi. Jadi pertanyaan besar buat saya mengapa Kang Abik atau Kang Umam (Chaerul Umam) tidak mengambil wajah-wajah baru?
SOUNDTRACK PAS DITELINGA
FILM DAKWAH
Diangkat dari novel pembangun jiwa, tidaklah salah jika kita menyebut ini adalah sebagai film dakwah. Muatan dakwah terasa sangat kental dalam film ini. Ada yang disajikan secara halus dan natural sehingga penonton akan dengan nyaman mencernanya, namun ada juga beberapa muatan dakwah yang masih terkesan menggurui.
Secara keseluruhan muatan dakwah dalam film ini adalah bahwa laki-laki dan wanita adalah setara. Keduanya boleh berprestasi setinggi-tingginya baik dalam hal keduniawian mauapun dalam hal ibadah. Namun ada batas-batas serta ada nilai-nilai yang juga tidak boleh dilabrak dan dilupakan, ada keseimbangan yang perlu diperhatikan. Sebagaimana sosok Zahrana yang karena terlalu mengejar karier dan prestasi dia hampir saja melupakan kehidupan berumah tangga.
Banyak hikmah yang dapat dipetik dari film ini. Makin menggejalanya tren menikah di usia yang cenderung terlambat bagi kalangan wanita terpelajar karena mengejar karir dan prestasi nampaknya menjadi sasaran fokus film ini. Agar para wanita ini juga memperhatikan untuk membentuk sebuah rumah tangga yang baik yang ternyata adalah bukan penghalang karir dan prestasi.
Wallau’alam bish shawab.
udah nonton cuplikannya, wajib nonton nih.
makasi sharingnya ya mas Iman 🙂
Sip, tunggu tanggal 15 Agustus ya Mbak Nique baru film ini akan tayang di bioskop (goodluck)
Assalamu’alaikum Mas Iman,
Subhanallah ulasan yang luar biasa, sangat detail mengkritisi bagian demi bagian… walaupun apa yang Mas Iman sampaikan
boleh jadi sesuatu yang masih debatable juga…
Seperti yang pernah disampaikan oleh Pak Ustadz Dani Sapawie,
rencana untuk mengambil setting di Negeri Tirai Bambu seperti
yang ada dalam novel telah diusahakan. Namun, ternyata terkendala masalah perizinan. Sehingga, dibuat setting di Opening dalam bentuk cerita dari Pak Sukarman dalam sambutannya di depan para mahasiswa dan civitas akademika.
Terkait dengan pemilihan bintang film dengan wajah-wajah baru untuk film-film Kang Abik atau Pak Chaerul Umam, sudah pernah Kang Abik sampaikan dalam Diskusi di Islamic Book Fair, Maret 2012 lalu bahwa tidak mudah mencari figur yang tepat padahal sudah dilakukan Open Casting dan pada akhirnya memang belum ada bintang baru. Dalam kesempatan itu, Kang Abik menantang kepada peserta untuk membawa dan merekomendasikan bintang film baru untuk Film ‘Ayat-Ayat Cinta 2’ yang akan digarap berikutnya. Silakan Mas Iman dibantu 🙂
Terlepas dari berbagai kekuranga-kekurangan yang telah Mas Iman sampaikan dalam tulisan ini, antum tetap merekomendasikan bahwa film ini layak ditonton kan? 🙂
Afwan jika ada hal yang kurang berkenan…
Wassalam,
Mas Boby
Jazakallah Mas Boby atas keterangannya, ane baru tau bahwa ternyata sulit ya mengurus perizinan di negeri China itu.
Terlepas dari segala kekurangannya film ini sangatlah layak untuk ditonton dong (goodluck)
ga heran sih klo sulit ngurus ijin untuk bikin film spt ini di sana, wong yang mau puasa aja dilarang lho 🙂 #eh OOT ya 😀
Puasa dilarang? Masa sih mbak? Saya baru tau nih (woot)
Bisa memfilmkan karya-karya Kang Abik merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh para sineas Indonesia, terutama karena karya-karya beliau memang sarat makna yang bisa dipelajari. Mulai dari Ayat-Ayat Cinta (AAC), Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 (KCB 1+2), Dalam Mihrab Cinta (DMC), hingga kini Cinta Suci Zahrana (CSZ).
Saya sudah membaca semua novel di atas, dan sudah menonton film-nya hingga KCB 2. Dalam Mihrab Cinta dan Cinta Suci Zahrana belum sempat saya tonton film-nya. Untuk novel-novel karya Kang Abik, ada beberapa hal yang ingin saya kritisi demi kemajuan karya-karya beliau:
1. Novel-novel Kang Abik meskipun selalu menarik untuk dibaca, menggugah dan bahkan memotivasi, menurut saya, kalau tidak bisa dibilang “se-tipe” adalah “senafas” dalam alur maupun jalan ceritanya. Perbedaan dari satu novel ke novel lain adalah setting waktu dan tempat, tokoh dalam cerita, dan konflik yang diusung yang menurut saya masih kurang bervariasi. Yang harus lebih banyak di explore oleh Kang Abik adalah ide cerita yang tidak monoton dan hanya berkisar pada perjuangan seorang anak manusia dalam hal memperoleh pendidikan, cinta, dan kehidupan yang lebih baik.
Perihal jodoh misalnya, tergambar jelas dalam perjuangan Azzam di KCB 1 dan 2 dan Ibu Zahrana dalam Cinta Suci Zahrana. Perihal pendidikan, juga tergambar dalam kisah Azzam di Mesir dan Hassan yang lulus perguruan tinggi dan kemudian mendapat S-2 di CSZ. Perihal perjuangan hidup, para pembaca novel KCB 1 dan 2 pasti sudah tahu kisah Azzam yang jadi penjual tempe di Mesir dan kisah Rahmad, penjual kerupuk keliling yang sayangnya, seperti dipaksakan, diperankan juga oleh pemeran Azzam di KCB 1 dan 2 (sepertinya jadi turun pamor). Bagaimana, senafas kan alur ceritanya? Bagi mereka yang sudah membaca semua novel karya Kang Abik, apabila tidak ada hal baru yang ditawarkan oleh beliau dalam novel-novel lainnya, maka besar kemungkinan mereka (mungkin termasuk saya) akan bosan membacanya.
2. Islam yang digambarkan dalam novel-novel Kang Abik adalah Islam yang sederhana dan mudah dipahami, namun cenderung tradisional dan monoton untuk dinikmati. Kalau saja Kang Abik bisa sedikit “out of the box” dari pemikirannya selama ini, banyak sekali aspek keindahan Islam yang bisa digali dari berbagai sisi kehidupan manusia. Islam ala para eksekutif muda, Islam ala para PNS, Islam ala para buruh, Islam ala para politikus, Islam ala para ustadz gaul penghias televisi, dan mungkin Islam dari sudut pandang para koruptor yang kebanyakan juga (masih) beragama Islam. Dari situ, saya yakin banyak hal yang bisa digali dan dieksplorasi sehingga karya-karya Kang Abik bisa ‘sedikit’ keluar dari mainstream pesantren yang selama ini mendominasi karya-karya beliau, untuk kemudian menghadirkan warna baru dari sisi alur cerita dan penggambaran Islam secara lebih unik.
3. Andai bisa dilakukan, mungkin Kang Abik bisa memberikan judul untuk karya-karya terbaru Kang Abik yang tidak menggunakan kata “Cinta”, karena sekali lagi, ini akan membuat Kang Abik lebih dikenal sebagai novelis cinta berbalutkan Islam ketimbang Kang Abik yang pandai mempermainkan rasa seorang pembaca yang haus akan kisah-kisah Islam yang menggugah.
Terkait dengan film-filmnya, dari beberapa yang sudah saya tonton, KCB 1 dan 2 termasuk yang enak untuk dinikmati, meskipun betul sekali menurut apa yang sudah disampaikan kawan saya Iman, interpretasi para sineas lah yang terkadang membuat film tersebut jadi kehilangan bentuk seutuhnya. Pemotongan adegan yang kurang pas, pemanjangan cerita yang salah sasaran, pemilihan pemeran yang “mungkin” juga kurang tepat, hingga skenario yang berubah demi kepentingan bisnis. Tapi apapun yang terjadi, inilah hasil yang bisa diberikan kepada kita, penikmat film Indonesia, yang mungkin tinggal menikmatinya saja.
Bagaimanapun, apresiasi tetap harus diberikan kepada mereka para sineas, karena menginterpretasikan sebuah film berdasarkan novel, bukanlah hal yang mudah, terlebih novel yang difilmkan adalah novel laris yang menjadi best seller. Beban berat pasti dialami oleh para sineas tersebut, untuk bagaimana membuat film-nya agar bisa sedahsyat novelnya. Belum lagi masalah waktu atau deadline yang harus dikejar agar rilis film-nya tidak kehilangan momentum hehehehe… Intinya, terus berusaha memberi yang terbaik karena tanpa sesuatu yang tidak sempurna, tidak akan ada yang sempurna.
Regards,
Yoga
Subhanallah…
Ulasan antum jauh lebih berbobot dari review ane deh hehehe.
Ane sepakat bahwa kang Abik perlu mencari point of view baru dalam novel2nya mendatang agar tidak menimbulkan kejenuhan bagi para pembacanya.
Setuju juga bahwa para sineas memang patut dihargai atas interpretasi mereka terhadap novel2 yang hendak mereka film kan. Bagaimana pun novel dan film adalah dua jenis karya yang sama sekali berbeda.
Jazakalllah atas sharing ilmunya bro (worship)
pengen nonton sih, tetapi selama ramadhan ini saya mungkin belum bisa ke bioskop, mungkin setelah lebaran.
seperti mas iman, saya juga cenderung kritis terhadap film yang saya tonton, bila dari awal film sudah melihat ada distorsi, tidak mudah bagi saya untuk menikmati keseluruhan film 🙂
Memang Insya Allah film ini akan tayang menjelang hari raya, yaitu tanggal 15 Agustus mendatang. Nonton pas lebaran kayaknya ok tuh. Ditunggu review nya ya mas bro (goodluck)
ooww masih tanggal 15 yah tayangnya, deketan sama Perahu Kertas nih. Dua-duanya diangkat dari novel 🙂
Kayaknya perahu kertas juga bikin penasaran banget deh, soalnya sampai dibuat 2 film kan, tayang agustus ini dan yang kedua tayang oktober. Saya sih belum baca novelnya hehehe (goodluck)
sorry to say, saya belum tergerak lagi utk menonton film Indonesia. atau kalaupun menonton, saya akan memasang ekspektasi yg rendah agar gak terlalu kecewa. kebanyakan persoalannya ada di eksekusi cerita sih ya 🙁
jadi lebih baik saya baca saja bukunya kayaknya. hehe. sekali lagi maaf.
Wah sudah sakit hati ya dengan kualitas film-film Indonesia? Memang sih demikian, tapi kalau kita-kita nggak nonton film Indonesia nanti malah film-film kita nggak bisa berkembang, ya kan? hehehe
#umpetinNovel
Assalamu alaikum Akh Iman Sulaiman. Terima kasih untuk ulasan reviewnya ya Akh. Ketika membaca review dari Akh Iman, mgkn Ima sudah bisa menebak apa yang menjadi kendala dari film ini… Beberapa waktu yang lalu sebenarnya sudah dibahas untuk masalah setting dan pemain, memang betul perizinan dan ketidaksesuaian pemain dari open casting yang menjadi kendala berarti. Sebelumnya kita tahu kalau film ini akan beredar tanggal 22 Desember 2012, ternyata mundur setahun kemudian. Alasan dulu adalah masalah musim yang ada di Cina yang kurang bersahabat dan akhirnya masalah perizinan dititik beratkan disini. Waktu yang mepet untuk mencari bintang yang sesuai harapan Kang Abik menjadi alasan kedua Kang Abik memilih pemain” lama kecuali Miller dan Faradina yang asli dari open casting.
Dan harapan kami yang menunggu filmnya ini ternyata harus sedikit kecewa mungkin dengan adanya ulasan seperti ini karena “Cinta Suci Zahrana” kembali lagi mengulang Film “Dalam Mihrab Cinta” yaitu jauh melenceng dari cerita dalam novel. Ceritanya yang terpotong”. Dan yang paling ditunggu” adalah pada waktu Rahmad meninggal secara tragis. Dalam novel, cerita kematian ini tidak dijelaskan secara runut dan jelas, harapan Ima itu mungkin bisa digambarkan lewat media film. Tapi ketika membaca ulasan Akh Imam, ternyata hal yang dibayangkan tidak akan mungkin terjadi. Mungkin kalau Ima bisa menebak alur cerita pas kejadian ini adalah dengan bantuan “Surat Kabar” yang menceritakan Rahmad meninggal secara tragis.
Harapan kami sebagai masyarakat yang umum, film bisa menggambarkan secara jelas apa saja yang ada di novel, bukan sebaliknya. Maaf dan beribu-ribu maaf, Ima harus jujur mengungkapkan berarti Novel lebih bagus daripada filmnya…
Tapi secara keseluruhan ide cerita untuk film ini adalah ide cerita yang termasuk baru bila dibandingkan dengan film” yang lain. Karena film ini , menceritakan cerita nyata kehidupan “akhwat” era sekarang ini. Kesuksesan dalam karier tidak bisa disejajarkan dengan kesuksesan dalam berumah tangga. Inilah yang bisa menjadi inti dari film “Cinta Suci Zahrana”…Semoga bisa diambil manfaat dari cerita film ini… Sukses selalu untuk perfilman Indonesia yang berkualitas dan bermutu… Maaf bila ada tulisan Ima yang kurang berkenan di hati. Selamat menonton. Insya Allah akan Ima tunggu tanggal 15 Agustus nanti.Salam Ukhuwah 🙂
Alaikum mbak Imaniar 😀
Novel dan film memang dua media yang berbeda, kita tidak bisa membandingkan apalagi mengharapkan keduanya sama. Masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan.
Film Cinta Suci Zahrana (CSZ) ini nggak melenceng dari novelnya kok, malah bisa dikatakan sama persis.
Tema CSZ ini memang sangat segar dan baru. Andai saja digarap dengan lebih cantik sudah bisa dipastikan ini akan menjadi film yang sangat-sangat menarik.
Ditunggu review nya ya setelah nonton nanti (goodluck)
terima kasih atas infonya mas Iman
novel dan film adlh dua dunia yang berbeda…
ketika kita melihat berbagai film indonesia yang sebehagian di kutip dari berbagai novel itu sangat wajar ketika banyak perbedaan, apalagi pada bagian2 tertentu, misalnya cerita mengenai mimpi maria bertemu dengan maryam di novel AAC itu kan mustahil bsa tergambarkan dalam film dan mungkin jga tdak jauh beda dengan film bru kang abik n kang umam sekarang ini…
betul sekali jika kitamelirik novel-novel kang Abik semua rata-rata bertemakan “cinta” dan kadang pula ceritanya itu terlalu bertele-tele, dalam artian untuk membahas satu cerita kang Abik harus menghabiskan beberapa halaman yang kadang membut pembaca merasa bosan membacanya.
untuk kang Abik tetaplah semangat untuk berkarya dan melahirkan dakwh-dakwh yang baru.
syukran, jazakumullah khair.
makassar,
hera.
Amien, semoga film dakwah ke depan bisa lebih dikemas dengan menarik dan berkualitas ya (goodluck)
Pasti nonton bareng suamiku sayang
Selamat menonton ya mbak Hidayah. Ditunggu sharing nya tentang film CSZ (goodluck)
BAGUUUUUUUUUUUUSSSSSSSSSSSS (heart) (K) (K)
Udah nonton? Ditunggu ya reviewnya (goodluck)
subhanaaallah,
ini indah :)saya nggak nyangka bang 🙂