Pagi itu, seperti biasa Kakak Syifana sedang duduk manis di depan laptop untuk segera memulai kelas hari itu. Masih dengan kondisi “muka bantal” dia menyeruput segelas air putih yang disediakan Bunda di samping laptop sambil mengunyah roti isi keju kesukaannya.
Kelas pun terdengar dimulai. Ibu Fasil (fasilitator, sebutan untuk para guru di Sekolah Alam Indonesia) terdengar membuka kelas dan kemudian beliau langsung melanjutkan dengan membaca almatsurat bersama.
Selesai membaca almatsurat Bu Fasil menyapa satu persatu anak-anak yang hadir di kelas daring pagi itu. Ada yang ditanya apakah sudah mandi? Apakah tadi Shalat Subuh? Subuhnya jam berapa? Sarapan apa dan pertanyaan lainnya.
Tiba giliran Kakak Syifana yang disapa oleh Bu Fasil.
“Kalau Syifana tadi Shalat Subuh jam berapa nak?”
Deg! saya mendadak merasa dagdigdug. Apa ya kira-kira jawaban Kakak Syifana mengingat huru-hara yang terjadi pagi ini.
“Aku belum Shalat Subuh Bu. Soalnya ini aku juga baru bangun. Malahan aku belum mandi” jawab Kakak Syifana sambil menunduk malu-malu. Kendati sedikit lirih bersuara, tapi cukup jelas untuk didengar oleh semua.
“Wah Syifana, lain kali harus bangun lebih pagi ya, jangan lupa untuk Shalat Subuh. Minta tolong untuk dibangunkan oleh Ayah dan Bundanya. Untuk hari ini nggak apa-apa, besok harus lebih baik ya nak.”
Srrrrr…. lega sekali saya mendengar jawaban “jujur” Kakak Syifana. Alhamdulillah walaupun sebenarnya sangat memalukan baginya, tapi dia berusaha untuk jujur.
Pagi ini memang Kakak Syifana sangat sulit untuk dibangunkan. Semalam dia dan adiknya terlalu asyik bermain sehingga tidur agak malam. Makanya pagi tadi bundanya sempat “agak marah-marah” ke Kakak Syifana. Bahkan untuk sikat gigi dan cuci muka saja Kakak Syifana harus digendong ke kamar mandi. Drama pagi yang entah sudah memasuki episode berapa dan session berapa hehehe.
Pagi itu selepas zoom, alhamdulillah Kakak Syifana sudah mulai membaik “mood” nya. Sehingga tanpa drama kakak sudah bisa menyiapkan sendiri perlengkapan mandi dan langsung ke kamar mandi, setelah sebelumnya sempat beberes tempat tidurnya sendiri.
Alhamdulillah…
Kakak Syifana saat ini sudah duduk di kelas 2 Sekolah Alam Indonesia Cipedak. Sudah hampir 1 tahun ini, sejak semester 2 kelas 1 tahun lalu, Sekolah Alam Indonesia sebagaimana sekolah lainnya selama pandemi ini juga melaksanakan kegiatan belajar mengajarnya dengan cara School From Home, atau dikenal juga dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Anak-Anak Alam itu kini…
Kantor saya hingga saat ini masih mewajibkan semua karyawannya untuk WFH (Work From Home), sehingga saya menjadi punya banyak kesempatan untuk melihat bagaimana proses belajar sehari-hari Kakak Syifana.
Saya sering memperhatikan bagaimana Kakak Syifana ketika melaksanakan sesi sekolah online nya. Dia duduk hingga sekitar 1 jam di depan laptop sambil mendengarkan fasilnya mengajar. Kelas sedemikian rupa dibuat interaktif oleh fasil untuk menghindari kejenuhan anak ketika sesi kelas daring ini berlangsung.
Terdengar sesekali celotehan dari anak-anak yang tanpa sungkan menyela saat fasil sedang berbicara, dilanjutkan dengan sahutan serta derai tawa dari teman-temannya yang lain.
Mungkin di sekolah lain ini terdengar kurang sopan, namun berbeda dengan di Sekolah Alam Indonesia, kedekatan siswa dengan fasil layaknya kedekatan dengan orang tua. Anak-anak merasa bebas untuk bersuara, berkomentar, karena mereka memang sedekat itu dengan para fasil. Masya Allah.
Masih terbayang oleh saya bagaimana anak-anak ini belajar di sekolah ketika sebelum pandemi dulu. Mereka biasanya tidak lama berada di kelas, hanya beberapa menit saja, selebihnya mereka bermain dan belajar di luar kelas, belajar langsung dari alam di bawah bimbingan para Bapak dan Ibu fasil. Aktifitas fisik menjadi porsi terbesar keseharian mereka, seperti lari berkejar-kejaran, memanjat, mengaduk-aduk tanah, atau menyiram tanaman.
Dan kini mereka hanya duduk diam di depan laptop. Terbayang betapa drastis perbedaan yang terjadi. Saya agak ngeri membayangkan apa yang sebenarnya tengah berkecamuk di dalam tiap-tiap kepala anak-anak alam ini.
Zoom dan GCR
Dua mahluk ini menjadi sahabat setia yang menemani hari-hari bersekolah Kakak Syifana sekarang.
Khusus untuk Google Classroom (GCR) saya dan istri masih sering kecolongan untuk melihat tugas-tugas yang diberikan oleh para fasil. Kami merasa sudah pede bahwa semua tugas di GCR telah kami sampaikan ke Kakak Syifana untuk dikerjakan. Kenyataannya terkadang masih ada satu-dua tugas yang terlewati.
Duh pusing!
Untuk urusan zoom, ternyata anak-anak kita jauh lebih khatam lho. Misalnya suatu waktu ketika sedang berlangsung kelas, terlihat Syifana kok senyum-senyum sendiri, ternyata eh ternyata dia sedang chat dengan temannya. Oalaaah… Langsung deh kami tegur dan ingatkan untuk selalu fokus ketika kelas sedang berlangsung.
Atau secara diam-diam ada anak yang mematikan kamera. Sering saya mendengar fasil menegur di tengah-tengah mereka mengajar. “Ayo anak-anak, kameranya jangan di off ya”. Ternyata banyak anak yang diam-diam iseng mematikan kamera. Mungkin agar mereka bisa mencuri-curi sambil bermain atau sekedar tidur-tiduran hehehe.
Atau ketika fasil share screen mereka pun secara iseng ikut mencorat-coret layar. Lucu ya? Bikin kesal tapi juga geli sendiri. Kok mereka kreatif banget ya.
Geregetan or Jujur?
Setiap tugas yang diberikan oleh fasil harus kami print out terlebih dahulu untuk bisa diisi oleh Kakak Syifana. Untuk tiap tugas tersebut saya dan istri berkomitmen untuk “jujur” bahwa tugas tersebut benar-benar dikerjakan oleh Kakak Syifana. Kami hanya berusaha membantu menjelaskan di awal, selebihnya kami biarkan Kakak Syifana mengerjakannya sesuai dengan kemampuannya sendiri.
Seperti misalnya untuk tugas pilihan ganda, selama proses pengerjaan Kakak Syifana kadang bolak-balik bertanya kepada kami untuk memastikan. Tapi kami berusaha untuk tidak memberitahu jawabannya secara langsung, melainkan kami beri petunjuk-petunjuk hingga ia mampu menemukan jawabannya sendiri.
Kadang setelah selesai dikerjakan kami melihat masih ada 1 atau 2 jawaban yang salah. Jujur kami geregetan ingin segera memperbaiki jawaban yang salah tersebut. Tapi kami sadar bahwa bukan ini yang kami cari.
Karenanya kami berusaha untuk tidak merasa terusik dengan kesalahan tersebut. Toh Kakak Syifana memang sedang belajar, wajar kan masih ada yang salah. Pikiran seperti ini kami tanam dalam-dalam di benak kami.
Paling kami hanya sedikit menyindir mengenai jawabannya yang salah dan memberitahu apa jawaban yang sebenarnya. Eitts, tapi jawaban di lembar tugas tetap nggak boleh diubah ya hehehe.
Anak Moody…. ? God Help!
Pernah suatu hari Kakak Syifana bisa mengerjakan 10 Rollingbook (buku bacaan dalam Bahasa Inggris). Dia bahkan mengerjakannya dengan happy dan sangat tekun. Ayahnya dengan sukacita menemaninya untuk membaca tiap buku serta mencatat tiap kosakata baru yang kita temui di buku itu. Sungguh sangat menyenangkan.
Tapi di lain hari, Kakak Syifana bisa berubah 180 derajat. Bahkan menyentuh buku pelajaran pun ia tidak mau.
Benar, Kakak Syifana anaknya sangat moody.
Pe Er bagi saya dan istri untuk bisa menemukan timing yang tepat ketika Kakak Syifana sedang dalam kondisi good mood. Ketika tepat moodnya, tugas sebanyak apa pun akan langsung ia sikat.
Yang menjadi masalah adalah ketika tugas sudah mencapai deadline, tapi si good mood tidak kunjung tiba. Saya dan istri kalau sudah menemukan situasi seperti ini hanya bisa bersabar saja, jangan sampai emosi kami meledak. Ishbiruuuu…. ishbiruuuu….
Thanks, Worksheet 🙂
Awal semester 2 ini ada kabar bagus banget buat saya dan istri. Alhamdulillah mulai semester ini para fasil mengumumkan bahwa kelas Kakak Syifana menggunakan bundel pelajaran (worksheet) dalam proses belajar. GCR masih tetap digunakan, tapi bukan lagi sebagai tempat main content. GCR lebih digunakan untuk file-file video dari fasil dan juga untuk sharing file weekly plan.
Di SAI tiap kelas diberikan keleluasaan (dalam tataran teknis eksekusi) untuk menentukan sendiri bagaimana proses belajar mengajar terlaksana. Tentu saja dengan tetap mematuhi aturan main dan ketentuan dari sekolah.
Contohnya di kelas Kakak Syifana ini, para fasil berinovasi dengan pengadaan Bundel Pelajaran (Worksheet) sebagai eksekusi akhir teknis pengerjaan tugas. Di kelas lainnya bisa jadi menggunakan metode yang berbeda, misalnya masih full menggunakan GCR.
Untuk teknis pembuatan copy worksheet dan bagaimana worksheet ini dikembalikan (dikumpulkan) ke fasil hingga saat ini masih dicari formulasi yang paling tepat dan terbaik bagi anak-anak, orang tua, dan tentu saja para fasil.
Inilah uniknya SAI. Di sini kami selaku orang tua bersama-sama dengan para fasil bisa turut serta urun suara dalam menentukan yang terbaik di kelas masing-masing. Tentu saja semua mempunyai satu semangat yang sama, yaitu memberikan yang terbaik untuk pendidikan anak-anak kita.
Indahnya ukhuwah akan sangat terasa jika memang benar diamalkan dalam kehidupan. Subhanallah!
Dengan bundel pelajaran ini pusing yang kami alami selama ini akibat GCR alhamdulillah sudah bisa menemukan solusi.
Selain itu worksheet ini juga sangat berpengaruh terhadap “nilai rasa” ketika belajar. Dengan memegang buku tugas dalam bentuk hardcopy menjadikan anak-anak lebih merasa benar-benar sedang bersekolah.
Buat ayah dan bundanya, khususnya saya dan istri juga merasa lebih aman karena kemungkinan tugas terlewat untuk dikerjakan menjadi lebih kecil. Terima kasih ya Bapak-Ibu Fasil.
Lha memang seharusnya Orang Tua sebagai Guru kan?
Metode pembelajaran jarak jauh ini memaksa posisi orang tua menjadi pendidik bagi anak-anaknya.
“Gimana sih, sudah harus membayar ke sekolah, tapi kenapa justru akhirnya kita sebagai orang tua yang akhirnya harus mengajar sendiri anak-anak kita. Nggak fair dong!” Pasti pertanyaan tersebut berkecamuk di kepala tiap-tiap orang tua saat ini kan?
Kalau kondisi di rumah kita memang ideal, misalnya orang tua menguasai materi pelajaran, tidak terlalu repot dengan pekerjaan alias memiliki waktu yang cukup, serta jumlah anak yang tidak banyak, satu atau dua anak saja. Mungkin kegalauan di atas tidak akan terjadi.
Tapi bagaimana jika kondisi rumah jauh dari ideal, misalnya anak yang bersekolah 3-4 anak, kedua orang tua sibuk sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk masing-masing anak, belum lagi jika orang tua tersebut tidak menguasai materi pelajaran si anak. Bukankah kepala kita serasa mau meledak?
Perasaan dan pikiran semacam ini hanya bisa diobati dengan mengingat kembali peran dan fungsi kita sebagai orang tua. Bukankah ALLAH memang mengamanahkan pendidikan anak kepada orang tua?
Sekolah dan fasil hanya sebagai pihak yang membantu proses pendidikan anak-anak kita. Bukan mereka yang bertanggungjawab, melainkan kita!
Dari pihak sekolah sendiri juga rutin menggelar kegiatan parenting akbar yang dapat diikuti oleh seluruh orang tua. Tidak hanya orang tua dari Sekolah Alam Indonesia (SAI) Cipedak, tempat Kakak Syifana bersekolah, melainkan juga dari semua SAI di seluruh Indonesia. Tema-temanya selalu menarik dan bermanfaat bagi kami orang tua yang memang haus untuk di upgrade.
Untuk di tingkat kelas, kabarnya kelas Kakak Syifana juga akan ada juga nih sharing session yang tujuannya meng upgrade kemampuan orangtua dalam menghadapi masalah pembelajaran di rumah ini. Wah jadi nggak sabar untuk bisa segera mengikutinya.
Bagaimana SAI Beradaptasi dengan Pandemi?
Selama hampir setahun ini SAI terlihat cukup akomodatif dalam merespon semua perubahan dari situasi pandemi yang ada ini. Sistem belajar berbasis PJBL (Project Base Learning) yang dipakai dalam situasi normal sebelumnya kini beradaptasi menjadi program HBL (Home Base Learning).
Intinya dari program HBL ini adalah tetap sama dengan PJBL namun dengan basis pengerjaan semuanya dilakukan di rumah.
Sistem pembelajarannya tetap sama yaitu berbasis kepada project, dan di setiap akhir project anak-anak diminta untuk melakukan presentasi. Tentu saja semuanya dilakukan secara online. Untuk kelas 2 SD seperti Kakak Syifana presentasi project dilakukan melalui rekaman video dan dipublish di akun IG (Instagram) milik sekolah.
Nah untuk urusan video ini Kakak Syifana Alhamdulillah sekali menyukainya. Kalau sudah di depan kamera dia mudah sekali untuk ON. Tapi dengan catatan tetap harus mencari timing yang tepat ya untuk urusan moody nya. Yeaaay…!
Belajar, Bersabar, dan Bersyukur
Kita masih belum mengetahui sampai kapan situasi akibat pandemi ini akan berlangsung. Yang pasti saat ini anak-anak kita sedang membutuhkan kita sebagai pendidik mereka.
Semangat kita untuk terus belajar dan mengupgrade kemampuan dalam mendidik anak mutlak diperlukan. Selain itu juga kita harus berlatih memperluas ruang kesabaran dalam hati kita. Yakin pasti ALLAH tidak akan menyia-nyiakan ikhtiar dan kesabaran kita ini.
Kadang terlintas dalam pikiran saya, apakah justru kita seharusnya bersyukur karena ALLAH telah menempatkan kita dalam situasi istimewa ini? Bukankah ini adalah ladang amal yang dihamparkan Nya kepada kita untuk menabung kebaikan sebanyak-banyaknya?
Insya Allah semua jerih payah yang telah kita lakukan ini akan berbuah manis kelak di kemudian hari, aamiin ya Rabb.