Review

Tausiyah Cinta (2015) Ketika Cinta Menasihati Dirinya

December 7, 2015

 

id.wikipedia.org
id.wikipedia.org

Gawean” Aktivis Dakwah

Dunia seni kini tidak lagi menjadi lahan yang kering dan gersang dari kegiatan dakwah. Beberapa aktivis muda Islam dengan idealisme yang mereka pegang teguh coba membuktikan bahwa dakwah pun bisa dikemas indah melalui sebuah karya film. Tidak harus melulu takluk dengan kekuatan kapital besar yang terkadang sekalipun mengusung film bertema dakwah (islami) namun pada praktik proses pembuatannya hingga para pemilihan pemerannya jauh dari nilai-nilai Islami itu sendiri.

Bedasinema, sebagai sebuah rumah produksi yang baru hadir di dunia perfilman Indonesia, mencoba kukuh mengusung nilai-nilai Islami bahkan dari tahap pemilihan pemeran hingga pada proses syuting. Sebut saja casting yang mensyaratkan para pemeran memiliki hapalan quran, benar-benar mengenakan pakaian yang menutup aurat dalam keseharian serta beberapa parameter islami lainnya.

Begitu pula selama proses syuting. Menurut informasi yang kami dengar, tidak ada satu adegan pun yang memungkinkan terjadinya sentuhan antara pemain laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya,  juga tidak ada satu pun adegan yang memperlihatkan pemain hanya berduaan dalam satu scene. Ketika adzan berkumandang pun proses syuting akan dihentikan untuk terlebih dahulu menunaikan shalat. Subhanallah.

Tema Cinta

Tema ini dirasa masih menarik untuk penonton Indonesia. Mungkin karena memang sebagian besar penonton bioskop di tanah air berasal dari kalangan remaja. Sama dengan film reliji Indonesia lainnya, tema cinta dalam film ini juga masih berkisar pada cinta di kalangan anak muda. Agak sedikit berbeda, pada Tausiyah Cinta tema ini coba dijabarkan dalam arti yang lebih luas, yakni cinta kepada sahabat, cinta kepada orang tua, cinta kepada Tuhan, dan tentu saja juga tetap menampilkan cinta antara kasih-kekasih.

Alur Cerita

Ada persahabatan dan juga ada cinta. Persahabatan sejati karena Allah dan tentang pernikahan tanpa pacaran yang tersaji indah dalam film ini. Sosok Lefan (Rendy Herpy), seorang pengusaha muda yang sukses yang bersahabat dengan Azka (Hamas Syahid) seorang arsitektur muda berbakat. Persahabatan keduanya naik turun, terutama ketika Azka yang tiba-tiba mendapatkan musibah yang mengubah semua dunianya, di sisi lain Lefan bermasalah dengan konflik dengan sang ayah.

Hadir sosok muslimah cantik berprestasi Kareina (Ressa Rere) dalam persahabatan mereka. Kareina hadir sebagai sosok yang sempurna, siapa pun akan sulit untuk tidak menyukainya.

Selain tiga tokoh tersebut hadir beberapa tokoh lainnya melengkapi cerita. Cerita berjalan terasa agak melompat-lompat dan kurang mengalir. Untungnya alur cerita yang cenderung sederhana menjadikan penonton untuk bisa menyimpulkan sendiri lompatan-lompatan cerita tersebut.

Terlalu banyak konflik yang dimunculkan, sehingga cerita seolah tidak terfokus. Masing-masing konflik tersebut seolah dibiarkan menggantung hingga ke akhir film. Namun bisa jadi ini disengaja oleh pembuat film untuk membiarkan penonton menentukan sendiri masing-masing ending dari tiap konflik dan cerita.

Jumlah tokoh terlalu banyak yang dimunculkan, agak sulit untuk mengenali semua karakter yang dimunculkan apalagi lebih jauh untuk dapat mencintai mereka. Bahkan ada tokoh kunci yang tiba-tiba dimunculkan di tengah film.

Karakter

Terlalu banyak adegan menangis. Sayangnya, buat saya pribadi, belum mampu membuat penonton ikut menangis. Ada beberapa adegan yang jika dieksplorasi lebih jauh bisa menguras air mata penonton, sayangnya beberapa adegan tersebut berhenti sebelum tercapai klimaks secara emosi.

Sebagai pendatang baru Rendy Herpy cukup mampu menghidupkan sosok Lefan yang berkelas namun penuh konflik dalam keluarga. Memang karakter dalam skenario film ini tidak mampu menampilkan sosok Lefan yang utuh. Karakter Lefan cenderung lemah dan bias. Di satu sisi dia begitu pride dengan keberhasilan dalam karier, namun di sisi lain dia digambarkan terlalu mudah dan terbuka untuk menerima nasihat.

Hampir semua tokoh tidak memiliki karakter yang kuat sehingga mampu memikat penonton untuk jatuh cinta pada sang tokoh serta terlibat secara emosi akan apa pun yang terjadi dengannya. Film ini tidak memiliki tokoh itu. Bahkan Azka (Hamas Syahid) yang dirundung malang sedemikian tragis pun masih sulit untuk mendapatkan simpati tulus dari penonton.

Sosok pelengkap semacam Bunda Kareina (Peggy Melati Sukma) justru mampu memikat saya dengan karakternya yang supel, ceplas-ceplos, namun sangat bijak dan penuh kasih-sayang dalam berdialog dan memberi nasihat kepada anak.

Sinematografi

Sejak scene awal saya sudah dikejutkan dengan pengambilan gambar secara zoom ke tiap wajah pemain. Berharap ini hanya ada di awal-awal film saja. Sayangnya saya harus menjumpai cara pengambilan gambar seperti ini di hampir sepanjang film.

Penggambaran jalan dan langit Jakarta dalam transisi antar scene cukup membuat mata istirahat dari kepenatan karena dipaksa memandang-wajah-wajah pemain yang diambil terlalu dekat. Saya suka sekali dengan salah satu scene yang menggambarkan langit Jakarta kala senja dengan awan-awan yang bergerak dipercepat, sangat indah!

Perpindahan gambar beberapa kali terlihat masih kurang halus. Pengisian suara pemain juga tertangkap telinga satu dua kali terdapat tambal sulam di tengah-tengah. Gerak bibir pemain dan suara yang keluar pun masih dijumpai ada ketidaksesuaian.

Visualisasi yang paling saya suka adalah ketika Lefan berpusi, tampilan sosok wanita berhijab dalam balutan gamis coklat cerah tampil kontras terhadap background yang dibuat hitam putih. Inovatif sekali, serasa menonton video klip musik.

Dakwah “Hard Selling

Salah satu kekurangan film dakwah selama ini adalah menampilkan nasihat-nasihat dakwah agak telalu vulgar dan terkesan “menggurui”. Sayangnya hal ini juga masih ditemui dalam Tausiyah Cinta,

Dialog antara Kareina dan ayahnya seputar pernikahan terlihat sekali masih mengawang-awang pada tataran nilai dan teori. Untuk penonton awam pasti akan sangat sulit memahami pola pikir Kareina dalam menentukan kriteria suami pilihannya. Bahasa yang terlalu indah tersebut menjadi agak mubazir karena agak sulit dipahami. Mungkin akan lebih baik jika digunakan pilihan kata yang lebih sederhana dan membumi.

Bagaimana tokoh-tokoh dalam film ini sangat mudah memberikan nasihat secara lisan, pun menggunakan bahasa bahasa sastra nan puitis, indah namun agak terlalu melangit.

Beberapa adegan bermuatan dakwah yang cukup segar syukurnya masih bisa ditemui dalam film ini, misalnya dialog ketika Ibunda Kareina sepulang pengajian. Pesan bahwa sebaiknya pengajian ibu-ibu “benar-benar mengaji” dan bukan berbelanja sangat mengena disampaikan. Pun ketika sang ibu memberikan alasan mengapa tidak membelikan adik Kareina baju sangat patut ditiru dan cerdas.

Kejanggalan

  • Penyakit apa yang diderita kakak Le**n? Mengapa hingga tidak tertolong? Bukankah ia seorang yang berkecukupan dalam materi.
  • Penyakit apa yang diderita oleh ayah Sang Penulis Buku hingga 3 tahun tidak juga dapat disembuhkan?
  • Visualisasi penyebab sosok Azka “kecelakaan” hingga mengalami ke**an sangat tidak meyakinkan. Penggambaran dalam film terlalu sederhana untuk memberikan efek sedahsyat itu.
  • Persahabatan antara Lefan dan Azka tidak didukung dengan fase dan tahapan yang mampu meyakinkan penonton bahwa keduanya adalah sahabat yang sangat dekat. Penggambaran dalam film seolah keduanya hanya sekedar teman yang saling kenal semata tapi tidak cukup mendalam.
  • Apa penyebab Kareina memutuskan untuk segera menikah? Bukankah ia masih kuliah? Apa karena pernah dilamar oleh Le**n? Ini agak membingungkan.
  • Hingga akhir film sosok Lefan masih digambarkan belum memaafkan ayahnya. Sangat disayangkan. Padahal di adegan terakhir ketika ia mendapati ayahnya mengunjungi makam ibunya sebenarnya itu saat yang tepat untuk menjadikan Lefan menjadi sosok yang berjiwa besar.
  • Mengapa Azka terkesan cenderung menafikkan proses penyembuhan? Padahal sahabatnya mencoba memberikan informasi terkait ini.
  • Apa penyakit ibunda Azka hingga beliau mengalami koma?
  • Adegan Azka yang melatih hapalannya di tengah masjid dengan suara lantang pun mengundang keanehan tersendiri. Bisa jadi ini adalah hal yang wajar jika dilakukan di masjid pesantren, namun jika ini dilakukan di masjid umum sepertinya terasa agak janggal.
  • Mengapa Azka masih mengenakan arloji ketika ia sudah mengalami keb**an?

Soundtrack

Inilah yang paling menonjol dari film ini. Siapa pun pasti akan langsung jatuh cinta pada lagu-lagu yang ditampilkan di sini. Semuanya tampil begitu “ear catching“. Musik “easy listening” yang tampil di sini tentu akan mengingatkan kita pada alunan lagu-lagu islami yang lebih dikenal dengan nasyid, kali ini dikemas apik dalam aransemen yang mudah diterima telinga penonton. Salah satu soundtrack adalah karya Kang Subi dan Teh Ina yang mereka bawakan sendiri. Pasangan duet yang juga suami-istri ini memang dikenal “jagoan” dalam menciptakan lagu-lagu romance.

Sarat Hikmah

Banyak hikmah yang bisa dipetik dari film ini, terlalu banyak bahkan. Petikan hikmah tersebut di antarnya:

  • Persahabatan yang sejati berlandaskan iman dan kejujuran. Tercermin dari beberapa adegan yang berisi nasihat kepada Azka. Isi nasihat tersebut cenderung memilih pilihan kata yang “seolah” menyakitkan untuk didengar, namun sebenarnya sangat ampuh untuk menyadarkan kembali seorang Azka yang sempat terpuruk bahkan menyalahkan Allah atas ujian yang menimpanya.
  • Skenario Allah adalah yang paling indah bagi orang-orang yang (mencoba) memahaminya.
  • Kasih orang tua tiada akan pernah terputus, berbaktilah kepada (kedua) nya sebagaimana Islam mengajarkannya

Tausiyah dari Cinta

Idealisme dakwah ada pada kotak tersendiri sedangkan keindahan karya seni (film) ada di dalam kotak lain yang tersendiri pula, sepertinya ungkapan ini mulai perlahan coba dipatahkan oleh Tausiyah Cinta. Film ini coba mempertemukan keduanya. Bukan hasil yang sempurna memang, namun dengan beragam kekurangan dari sisi teknis seolah “termaafkan” dengan pesan yang dibawa film ini. Pesan dari hati akan juga sampai ke hati. Semoga nasihat cinta ini benar-benar mampu tertanam di hati-hati perindu cinta sejati.

Tulisan ini juga dibuat untuk MataSinema, Komunitas Pemerhati Film Indonesia

Sumber : Movie.co.id, Wikipedia

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
  1. Bagi produser judul film bernafaskan Islam kayaknya gak keren ya kalo gak pakai istilah khas agama Islam. Dulu ada Ayat-ayat Cinta, Ketika cinta Bertasbih.
    Emang cinta bertasbih dan ada ayatnya ya, hehehe…

  2. Panjang ya review-nya, hehe. Senang sekali membaca tulisan ini karena elo bisa menilai film ini dengan seimbang. Yah, sayangnya seperti film2 Indonesia umumnya, ide cerita yang brilyan kerap dieksekusi dengan tanggung.

    Ada 2 kritik utk tulisan ini:

    1. Kata ‘pride’ harusnya ditulis ‘proud’
    2. Spoilernya ampun daaah. Hahahahaha.

  3. Assalamualaikum Man, apa kabar ? kalo mau kontak ada email atau wa man? Man mau review website ane ga? Ada gratis asuransi Personal Accident 10 juta untuk 3 orang nih perreview, kalo ga review juga ga apa-apa asal ada thanks dan link dimana aja ke website/produk ane :D.

    Makasih ya sebelumnya :). Wassalam, Riza – 0896.30500500

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.