Review

Beberapa Kejanggalan di Film Cita-Citaku Setinggi Tanah

October 21, 2012
Sumber : daengbattala.com

Film Cita-Citaku Setinggi Tanah merupakan sebuah film idealis untuk sang sutradara Eugene Panji. Bagaimana tidak? sosok yang biasa menyutradarai video klip ini beserta seluruh kru dan pemain rela untuk tidak dibayar selama proses pembuatan film ini. Seluruh keuntungan film ini akan didonasikan untuk salah satu yayasan kanker di tanah air. Merupakan sesuatu yang langka untuk kita temui di hari-hari ini.

Film yang bahkan pernah di bahas di dalam salah satu talk show ternama di salah satu televisi swasta ini memang dapat dibilang merupakan sebuah film mulia. Selain memang ditujukan untuk amal film ini pun memuat muatan moral cerita yang sangat baik untuk anak-anak, sederhana namun sangat penting yakni tentang cita-cita dan upaya dalam mewujudkannya.

Billboard film ini banyak terpampang di beberapa lokasi strategis di ibukota. Ini berkat beberapa sponsor utama yang memang sangat membantu dalam mempromosikan film ini.

Berkesempatan menyaksikan gala premier (GP) film ini saya merasa sangat beruntung. Hari Ahad tepatnya tanggal 7 Oktober di Gandaria City saya dan beberapa teman deBlogger mendapatkan undangan dari blogger Detik untuk menyaksikan GP film ini.

Film ini menyajikan sosok 4 sahabat karib di salah satu SD di daerah Muntilan. Agus (M Syihab Imam Mutaqqin)Β hadir sebagai tokoh utama, bersama 3 sahabatnya yakniΒ Sri (Dewi Wulandari Cahyaningrun), Jono (Rizqullah Maulana Daffa), dan Puji (Iqbal Zuhda Irsyad). Dikisahkan mengenai tugas mengarang yang ditugaskan kepada mereka dengan tema cita-cita. Inilah yang menjiwai seluruh cerita dalam film ini, bagaimana mereka menjiwai tugas mengarang ini dengan sikap yang berbeda-beda.

Agus mensikapi cita-citanya yang teramat sederhana yakni “makan di rumah makan padang’ dengan sangat serius. Eugene Panji berhasil memvisualisasikan kegigihan Agus dalam mencapai upayanya ini. Ini akan banyak memberikan pelajaran berharga bagi anak-anak yang menyaksikan film ini. bukan hanya anak-anak bahkan sepertinya ini juga akan memberikan banyak hikmah untuk orang tua bahkan kita semua yang menyaksikan film ini.

Sumber : Kapanlagi.com

Namun demikian cerita film ini dari awal hingga akhir tersaji dengan sangat-sangat datar, tanpa klimaks dan tanpa greget sama sekali. Saya sampai beberpa kali melirik jam tangan saya karena cerita film ini yang seolah berjalan di tempat.

Selain cerita yang tanpa greget film ini pun banyak menyajikan kejanggalan sehingga banyak menuai pertanyaan di benak penonton, mari kita lihat beberapa kejanggalan yang ditampilkan film ini:

  1. Sebagai anak seorang yang bekerja di pabrik tahu Agus harus memakan menu “tahu bacem” setiap harinya. Inilah pemicu Agus ingin sekali makan di rumah makan Padang yang menyajikan beraneka menu. Secara logika masuk akalkah seorang ibu tidak pernah mengganti menu masakannya tiap hari? Apalagi sang ibu (Nina Tamam) yang memang hanya seorang ibu rumah tangga biasa dan baru memiliki seorang anak. Seharusnya ia tidak memiliki kerepotan yang luar biasa untuk mengkreasikan masakan yang murah namun tetap menarik selera.
  2. Beberapa adegan memperlihatkan betapa repotnya sang ibu sampai-sampai untuk urusan yang sangat sepele harus membangunkan anak semata wayangnya yang tengah tertidur, seperti menimba air dll.
  3. Dalam film ini sang ibu diceritakan amat sangat tidak perhatian terhadap perubahan yang terjadi pada anak semata wayangnya. Terlihat Agus seringkali curhat kepada kakek tua (Mbah Tapak) tetangganya. Bahkan Mbah tapak begitu perhatian sampai mengenali ekspresi Agus ketika sedih atau gembira, tanpa Agus harus menceritakannya.
  4. Ayah Agus (Agus Kuncoro) dikisahkan juga sama tidak perhatiannya dengan sang ibu. Dalam film ini bahkan sang Ayah terlihat lebih “ditakuti” Agus ketimbang “dihormati”. Dalam adegan ketika Agus pulang terlambat karena mencari keong dengan baju kotor, terlihat kedua orang tuanya hanya fokus kepada 2 hal yakni Agus yang terlambat tanpa pamit dan bajunya yang menjadi sangat kotor, tanpa peduli mengapa anaknya kotor? kenapa anaknya mencari keong? Sungguh tidak perhatian.
  5. Lagi-lagi tentang sosok orang tua Agus yang sedemikian menakutkan sehingga membuat Agus harus menyembunyikan celengan bambunya. Tak hanya Agus yang takut dengan kedua orang tua Agus, nampaknya begitu juga dengan sang nenek. Neneknya yang tampak sangat sayang dengan Agus harus sembunyi-sembunyi dari orang tua Agus ketika memberikan uang jajan kepada Agus.
  6. Penokohan dalam film ini juga cenderung agak berlebihan. salah satu sahabat Agus yang memiliki hobi, maaf, mengupil digambarkan secara terus menerus melakukan hobinya ini. Bahkan kamera tampak menyajikan hobi ini secara “over exposure”. Terus terang hobi yang jika dilihat untuk pertama kali terlihat lucu, sekalipun dilakukan oleh anak kecil, jika terus menererus divisualisasikan agak berlebih akan membuat jijik bagi yang menonton.
  7. Setting yang tertampil berupa sebuah gang sempit selalu ditampilkan ketika Agus menuju keluar rumah ke mana pun tujuannya. Ini memang sepele namun agak sedikit mengganggu menyaksikan setting tempat tersebut secara berulang-ulang dan dengan sudut pengambilan gambar yang sama.
  8. Klimaks cerita ini pun terkesan sangat dicari-cari. Mengapa Agus yang biasa menyembunyikan uang tabungannya di bawah bantal atau kasurnya tiba-tiba membawanya ke tepi lubang sumur ketika menimba air. Ini sangat-sangat tidak masuk akal dan sangat dibuat-dibuat. Bahkan ketika Agus menenteng plastik uang tabungannya menuju ke sumur saya sudah bisa menduga bahwa uang ini akan tercebur ke sumur.

Di balik beberapa kejanggalan cerita film ini tetaplah ini sebuah film yang memotivasi untuk kebaikan bagi anak-anak. Kehadiran Endah n Rhesa yang menemani film ini dengan alunan aransemen musik karya mereka yang sangat apik sungguh membantu memberi nyawa film ini. Thanks to Endah n Rhesa.

Visualisasi alam Yogya yang indah pun berhasil tampil memukau di film ini. Rasa “Eugene Panji” sangat kental di bagian ini. Empat anak yang menjadi tokoh utama dalam film ini pun sungguh sangat fresh dan natural. Penonton bisa menikmati aura “apa adanya” yang tertampil dari keempat anak ini. Nilai “plus” bagi empat bintang masa depan perfilman indonesia ini.

Film ini masih tayang di bioskop. Ajaklah anak-anak kita untuk mengenal diri dan cita-cita mereka melalui film ini. Selamat menonton.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
  1. Aih.. gatel deh pengen komen.. tapi belum nonton..

    Emm gini mas.. klo diliat dari komen2nya mas iman soal ibunya agus yang nyiapin tahu bace terus dsb, dikit2 bangunin anak buat bantuin kerjain kerjaan rumah dll, itu kayaknya suatu gambaran pendidikan keluarga yg cukup familiar buat gue.
    klo denger ceritanya nyokap gue yg orang asli magelang (deket bgt ama muntilan), ya kultur orang2 disana emang kayak gitu..
    Masakan tempe & tahu bacem di sana, ya semacam gulai atau rendang kayak dirumah lo kali, mas.. yg makin lama di masak/diangetin makin enak.. :)) dan setiap rumah biasanya punya stok persediaan baceman kayak gitu. biasanya tempe & tahu yg dibacem klo lagi punya uang, ayam, babat iso, daging dsb, dimasak bacem semua.. selain tempe dan tahu itu murah, masak baceman gampang dan awet. Jadi ‘wajar’ klo menurut gue klo si agus makannya tahu bace mulu :))

    but btw, gue akan coba nonton filmnya dulu deh… klo soal dramatik cerita yg flat kayaknya hampir semua orang ngomong gitu, jadi gue pasrah aja lah (doh)

    1. Oh gitu ya Luv? Kok buat saya jadi merasa ini nggak adil buat si anak ya. Proporsional aja kali kalau belajar membantu orang tua jangan sampai ketika tidur pulas dibangunkan untuk hal sepele.

      Untuk tahu bacem terus terang saya juga baru tahu hehehe (haha)

  2. kalo kejanggalan versi saia, kenapa fotoku tidak terpajang disitu ya? hahah.. *kidding*

    btw, review yang masuk akal juga, secara saia gak pernah makan masakan yang itu-itu aja, selalu bervariasi πŸ˜€

    1. Mas Fayyas lagi di Yogya kan waktu itu hehehe

      Iya mas, nggak kebayang ya makan dengan menu yang sama tiap hari. Teganya sang orang tua (doh)

  3. baru niat mau nonton pas cek di movplex ternyata jadwal tayangnya sekarang cm sehari sekali, itu pun siang.

    oya, btw, muntilan itu masuknya jawa tengah bro, bukan Yogyakarta, hehe

  4. yang dibaigian uangnnya jatoh emang seperti dibuat2, saya juga udah nebak uangnya bakalan jatuh…cuma tiba2 pas uangnya jatuh ratri teriak2,heee… jadi saya malah kaget, serasa nonton film horor πŸ˜€

    1. Iya Randa, klimaks ceritanya nggak banget.

      Nah kalau Ratri teriak gitu tandanya ia perlu sering-sering diajak nontoh tuh hehehe (tongue)

  5. Kalau sekadar membaca tulisan ini, menurut saya poin 1-5 tidak janggal. Ada banyak contoh keluarga spt ini yg saya saksikan ketika bekerja di LSM dulu.

    1. Nggak janggal ya? Tapi terus terang buat saya yang coba memandang ini seobyektif mungkin tetaplah menjadi janggal. Bukankah kebiasaan yang sudah membudaya tapi kurang baik itu sebaiknya sedikit demi sedikit diluruskan ya? CMIIW

      1. memang seharusnya diluruskan. tapi apakah media film dgn durasi cuma sekitar 2 jam mampu meluruskan yg negatif itu? saya pikir film itu ingin mengangkat realita apa-adanya dan lebih fokus pada pesan inti yg hendak disampaikan. poin2 itu nampaknya bukan inti pesan tapi justru latar belakang pendukung cerita saja. CMIIW πŸ™‚

        1. Hehehe iya deh mas bro (worship)

          Inti cerita film ini tetap keren kok. Mungkin memang saya yang memang harus jalan-jalan ke Yogya lagi #eh #lospokus (ninja)

  6. kami (saya dan 2 ponakan) πŸ˜€ sudah nonton film ini. untungnya ponakan gak protes sekritis mas Iman.
    Tapi saya sih udah mbatin, tega amat masak bacem mulu. hari gini gitu loh, kan bisa divariasikan, jadi sapo tahu misalnya πŸ˜€

    terus soal perhatian orangtuanya emang udah potret orang tua jaman sekarang kan yang kayak gitu eh tapi orang tuaku juga gitu ding … jadi yaaa yg bikin film sih gak salah juga ya hehehe

    1. Setuju Mbak Nique, walaupun tahu terus menerus kan bisa ya dimasak lebih variatif. Itu semua tergantung niat kayaknya (goodluck)

  7. imo, ceritanya memang dibuat sederhana dan gk macem-macem karena segmen pasarnya anak-anak. Selain itu dibuat sederhana karena memang yang diutamakan nilainya (walaupun nilai dan plot gk saling meniadakan juga sih), tapi kalo dibuat terlalu berat dan belibet mungkin dikhawatirkan anak-anak sulit mencernanya, hehe.
    πŸ™‚

    1. Seingat saya cerita “Petualangan Sherina” juga sederhana deh, tapi kita mengikutinya dengan sangat antusias karena cerita dibuat begitu seru dan memiliki klimaks.

      Menurut saya berbeda antara “sederhana” dengan “datar alias tanpa klimaks”, ya nggak? (goodluck)

  8. Iya sih, agak aneh kalau lihat anaknya cuma satu. Masak bisa sampai gak perhatian gitu? Tapi kalau soal menu di meja makan, ibuku suka gitu. Beberapa hari pernah lauknya itu sama… -_-

  9. Preview yang kadung berani.. Lanjutkan deh Bung selama punya jiwa kritik yang konstruktif saya dukung πŸ™‚
    Btw kapan kelar nih Skenario Film buatan ente bung? tak enteni yo

  10. saya juga pernah diundang untung menonton premier salah satu film, dan setahu saya undangan seperti ini dmaksudkan agar blogger menuliskan review yang membuat pembacanya penasaran dengan tidak menuliskan klimaks ceritanya. begitu waktu itu sang produser memintanya, tapi dengan menuliskan β€œmakan di rumah makan padang” saya rasa pembaca jadi tidak penasaran llagi dengan film ini. πŸ™‚

    1. Benar bro. Tema sederhana jika pandai mengemasnya bisa jadi menarik kok. Sayangnya film ini lemah di alur cerita yang seolah tanpa klimaks.

Leave a Reply to Iman Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.