Mendapatkan kesempatan untuk menonton film yang paling ditunggu beberapa waktu terakhir ini adalah sebuah anugerah buat saya. Ahad lalu (4/03) Alhamdulillah saya dan beberapa kawan MataSinema mendapatkan undangan nonton bareng Film Negeri 5 Menara dari salah satu provider berita online boleh.com. Tidak hanya nonton film, kami pun berkesempatan untuk melihat langsung dan berkenalan dengan penulis novel (Ahmad Fuadi), sutradara (Affandi Abdul Rahman), penulis skenario (Salman Aristo) dan juga beberapa pemain utama film ini yang sengaja dihadirkan oleh penyelenggara.
Menonton film ini tanpa sebelumnya membaca novelnya merupakan keuntungan tersendiri buat saya karena bisa melihat film ini tanpa ekspektasi tertentu dan juga (semoga) bisa menikmati film ini lebih jernih.
Ruh film ini sepertinya ada satu kalimat pendek ber bahasa arab yang berbunyi “Man Jadda wa Jada” yang memiliki arti kurang lebih “Siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil”. Kalimat tersebut seringkali diulang di film ini seolah muncul sebagai charger tiap kali sang tokoh di film ini sedang dalam kondisi lemah. Mirip seperti istilah “all is well” dalam Film Three idiot.
Sejak film ini dimulai saya terus terang tidak mengetahui setting waktu film ini sebenarnya di tahun berapa. Saya hanya menduga-duga saja dari kondisi bangunan yang digambarkan di film atau pun simbol-simbol lain yang menunjukkan di zaman apakah film ini berlatar. Sempat menduga latar film ini adalah 90-an atau 80an. Akhirnya pertanyaan ini sedikit terjawab pada salah satu adegan saat menonton bareng pertandingan bulu tangkis piala Thomas dengan salah satu atlet yang tengah berlaga saat itu adalah Liem Swie King, yang menurut Wikipedia artinya film ini memiliki setting waktu di sekitar 1978 atau dengan kata lain era tahun 1970-an.
Dialek daerah para pemeran di film ini sangat diperhatikan nampaknya oleh sang sutradara. Nampak di sini para pemain sudah pasih dalam berdialek daerah, semisal seorang Lulu Tobing yang menjadi sangat pasih berbahasa Minang. Salut untuk yang satu ini (rock)
Setelah saya tidak lagi galau masalah setting waktu film ini saya pun mencoba menikmati cerita. Alif (Gazza Zubizareta) seorang anak Minang yang baru saja lulus sekolah menengah pertama menjadi tokoh sentral dalam film ini. Sebagaimana anak-anak lainnya Alif bersama sahabatnya Randai (Sakurta Ginting) memiliki keinginan dan cita-cita yang tinggi, yaitu melanjutkan ke sekolah menengah yang berkualitas untuk selanjutnya kuliah di perguruan tinggi negeri ternama, keduanya mengidamkan untuk dapat berkuliah di ITB.
Namun ternyata orang tua Alif memiliki pandangan yang berbeda mengenai kelanjutan pendidikan Alif. Dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas rendahnya kualitas siswa yang masuk maupun yang lulus dari sekolah-sekolah agama (pesantren), Amak (ibu) Alif (Lulu Tobing) menginginkan agar Alif yang memang cerdas secara akademis sebaiknya melanjutkan ke sekolah agama. Amak mengharapkan agar Alif mampu membuktikan bahwa siswa lulusan agama juga dapat berkualitas. Cita luhur amak Alif ini adalah lahirnya kembali ulama-ulama besar sekualitas HAMKA di jaman ini. Hal ini juga diamini oleh Ayah Alif (David Chalik).
Pergulatan batin Alif akhirnya membuahkan keputusannya untuk menuruti keinginan kedua orangtuanya, setidaknya dia akan mencoba untuk masuk ke pesantren selama 1 tahun. Selanjutnya cerita mengalir dengan penggambaran kehidupan Alif di pesantren, bersama-sama dengan sahabat sekamarnya Baso (Billy Sandy) dari Gowa, Atang (Rizky Ramdani) dari Bandung, Said (Ernest Samudera) dari Surabaya, Raja (Jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmajid (Aris Putra) dari Madura.
Man Jadda wa Jadda?
Dengan sangat lugas salah satu adegan menggambarkan kekuatan dari kata Man Jadda wa Jada, yaitu ketika Ustadz Salman (Donny Alamsyah) memulai mengajar di hari pertama di kelas Alif. dari adegan ini kata ini seolah ditasbihkan sebagai mantra yang punya kekauatan mampu membangkitkan semangat di setiap keterpurukan.
Inilah sebenarnya pesan utama dari film ini, namun sayangnya film ini tidak mampu menggambarkan Man Jadda wa Jada ini dengan seutuhnya. Kalimat ini seolah cuma berhenti sebagai jargon semata.
Kita hanya disuguhkan oleh 3 peristiwa yang menggambarkan bahwa kesungguhan itu akan membuahkan buah keberhasilan yang manis, yaitu pertama pada adegan memperbaiki mesin genset serta kedua pada adegan mempersiapkan pentas seni dan ketiga pada saat Baso mempersiapkan lomba pidato. Selebihnya keenam Sohibul Menara ini seolah tidak ada bedanya dengan siswa pesantren lain.
Jika saja film ini menyuguhkan adegan betapa sungguh-sungguhnya Alif dalam menekuni pelajaran, atau betapa luar biasanya perjuangan Baso dalam menghapalkan Alquran, atau bagaimana 6 sekawan ini masing-masing melakukan perjuangan ekstra untuk meraih cita-cita mereka dan berprestasi di sekolah dibandingkan dengan siswa lainnya, pastinya film ini akan memiliki kesan yang lebih dalam bagi yang penontonnya. Lagi-lagi saya mencoba membandingkan dengan Film Three Idiot yang mampu menggambarkan dengan cerdas dan utuh bagaiman perjuangan sang tokoh melawan tirani sistem pendidikan saat itu.
Banyak juga adegan yang ditampilkan terkesan nanggung, sedikit lagi dieksplorasi lebih jauh pasti mampu menguras emosi penonton. Misalnya adegan perpisahan dengan Baso, adegan suksesnya pentas seni, dan yang paling kurang adalah adegan bertemunya sahabat lama yang telah bertahun-tahun berpisah.
Para pemain baru memang terlihat masih canggung dalam memerankan perannya, termasuk sang tokoh utama yaitu Alif. Justru saya sangat memuji permainan Billy Sandy sebagai Baso yang begitu luwes dan natural.
Buat saya yang belum (sempat) membaca novelnya, banyak pertanyaan yang timbul setelah menonton film ini. Alif itu setelah dewasa profesinya wartawan ya? Kenapa selulus pesantren dia tidak melanjutkan ke ITB dan menjadi seorang sarjana teknik? Masing-masing dari enam Sohibul Menara ini jadi apa saja ya? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak mampu dijelaskan secara baik hingga ending film ini.
Bukan sebuah novel sembarangan pastinya jika Negeri 5 Menara mampu menjadi best seller. Saya yakin pasti novel ini sangat-sangat bagus dan inspiratif bagi yang membacanya. Namun sayangnya tidak demikian dengan filmnya, tidak mampu menampilkan pesan Man Jadda wa Jada yang begitu powerfull dengan seutuhnya.
Film ini secara sangat elegan telah mampu menampilkan bagaimana kehidupan dalam pesantren yang lebih positif, maju, modern dan progresif yaitu tidak hanya melulu berkutat pada ilmu agama semata. Tidak seperti kesan kumuh danΒ terbelakang yang selama ini acapkali ditampilkan dalam film-film nasional.
Bagaimana pun ini adalah film yang sangat layak untuk ditonton oleh generasi muda kita yang memang sedang kehilangan ruh pemberi semangat mereka untuk terus berjuang dan tidak mudah menyerah dengan keadaan.
sangat jauh dengan isi novelnya, tapi setidaknya sudah dapat memberikan gambaran, dimana letak Pondok Madani tersebut yang selama ini hanya dalam bayangan π
Oh begitu ya mas, tapi kenapa penulis novelnya seolah merestui isi film ini ya? #bingung
yup. sefaham dengan mas iman.
Sip bro, udah nonton kan? #eh (okok)
Permisi, cuman mau share aja nih. ada info lomba bikin artikel. Hadiahnya lumayan ada 2 buah printer laser jet dan voucher. Caranya tinggal like fanpage >> http://www.facebook.com/anugrahpratamacom. Dan ikuti Contest menulis artikelnya.
Terima kasih
Semoga sukses π
waahhh aku belom nonton juga akhirnya…
Wah udah tayang 5 hari di bioskop belum nonton juga? ther… la… lu (goodluck)
skor nya berapa bro jadinya ?
Wah pertanyaan ini hampir terlewat…
Overall nggak terlalu bagus sih, saya kasih nilai 7 aja
Khusus tentang pesan positif yang diemban film ini saya kasih 7.5 deh (goodluck)
*belum nonton, baru (rencana) mw nonton nanti malam sm teman2*
oia, trus abis saya baca review ini, kira2 alasan apa yg membuat sy tetap musti nonton ini film ya? (thinking)
Ini film dengan muatan moral yang bagus, isi cerita juga bagus walaupun memang banyak kekurangan di sana sini. Nah tontonlah film2 dengan tujuan mulia kayak gini, agar ke depan para pembuat film nggak kapok membuat film2 bermuatan moral, ya kan? (rock)
Oh ya iLLa, satu lagi alasan khusus untuk iLLa, yaitu para pemainnya kebanyakan masih brondong lho #kabur (lmao)
no comment dulu soal filmnya. cuma mau ingetin utk periksa beberapa link di tulisan ini yg error dan mengarah ke tempat yg salah π
Hehehe iya 3 link pertama crash tadi, udah diperbaiki kok. Thanks ya bro (worship)
udah nonton
ya komentarnya ya kayak tulisan di atas
cuma tulisan ini lebih bagus π
untung saya jg blom baca bukunya sih hehehe
Yeay kita sama-sama belum baca bukunya #tosss
Ane udah mampir ke review N5M nya, keren kok tulisannya. Kayaknya lebih jujur gitu bahasanya (goodluck)
saya ‘kan selalu jujur, walaupun harus siap menuai cemooh π
baca dong, ada yg nyuruh saya jadi SUTRADARAnya gegara memberi nilai 3.5? hehehe … tidak apa! setidaknya saya puwas was was hahahaha
Kejujuran dan apa adanya…
Itu Mbak yang jadi keunggulan blogger. Makanya sekarang blogger tuh dilirik oleh banyak pihak sekarang, nggak terkecuali dunia perfilman (scenic)
saya belum nonton…. belum baca bukunya juga, tapi referensi cukup memberikan gambaran π
Mila tetap harus nonton film ini. Jangan pernah percaya sama tulisan saya hehehe (haha)
Film ini layak tonton kok, cuma perlu sedikit dipoles pasti jadi film yang keren banget (rock)
SETUJU! Apapun kritikan dari kita2 yang sudah nonton, sebaiknya sih pada nonton aja. KECUALI di-rate 1 or MINUS nah baru deh boleh jangan pada nonton huehuehue
Bener, pokoknya pelem2 yang pesannya positif kayak gini wajib ditonton ya (goodluck)
Sesuatu yang sangat biasa dalam kancah perfilman Indonesia jika film yang dibuat berdasarkan novel yang best seller pada kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Selalu ada aspek yang kurang dari penggambaran dalam novel sehingga mengurangi makna aslinya atau istilah gaulnya “kurang greget”. Hal yang biasa yang bahkan terjadi pada film sekelas Harry Potter 1-7 sekalipun. Untuk film Harry Potter, yang saya acungi jempol hanyalah bagaimana film ini dapat menggambarkan dunia yang yang begitu luar biasa, dengan setting yang selama ini belum pernah terbayangkan oleh manusia yang hidup dalam dunia nyata. Sementara dari sisi cerita, banyak sekali angle cerita yang dipotong, atau yang terpotong secara tidak sengaja, atau demi tuntutan skenario, yang pada akhirnya tidak menggambarkan secara utuh cerita seperti yang di novel. Jadi kalau film Negeri 5 Menara bernasib sama, maka yang perlu kita lakukan hanya memakluminya.
Saya sudah membaca 2 dari 3 buku trilogi Negeri 5 Menara. Dan kebetulan sang penulis Ahmad Fuadi adalah senior saya di HI UNPAD, jadi sedikit banyak saya tahu kondisi yang melatarbelakangi cerita dalam novel beliau, terutama dalam novel kedua Ranah 3 Warna yang menggambarkan bagaimana sang penulis memperoleh beasiswa (course atau pertukaran pelajar) saat menjalani masa kuliahnya di Bandung.
Menurut pendapat pribadi saya yang baru membaca 2 dari 3 bukunya, ada semacam penurunan kualitas cerita dari yang sedikit) luar biasa menjadi cenderung biasa saja pada novel keduanya. Yang ditonjolkan dalam novel keduanya adalah upaya untuk memperoleh beasiswa tersebut dengan permainan kata-kata yang cukup memikat. Dan lagi-lagi pesona Man Jadda Wa Jada masih melekat kuat seolah-olah inilah garis hidup sang penulis. Selebihnya mungkin masih sangat diperlukan pengayaan imajinasi sehingga pembaca bisa menemukan kekuatan lain dari satu novel ke novel lain dan bukan semata-mata tulisan yang hanya mengejar target 3 buku karena kontraknya yang demikian sudah dibuat dengan pihak penerbit.
Hal yang sama terjadi pada seri Laskar Pelangi buku keempat “Maryamah Karpov” yang menurut saya justru cenderung sedikit berbau mistik. Pun untuk film-film yang disarikan dari novel laris Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, maupun Dalam Mihrab Cinta karya-karyanya Habiburrahman El-Shirazy. Entah karena kehabisan ide, atau justru ini sisi lain yang bisa digali, pembaca hanya menikmatinya saja untuk kemudian memberikan penilaian.
Belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut, saya pribadi cenderung tidak tertarik untuk menonton film-film yang diangkat dari novel best seller. Entah karena ekspektasi saya pembaca novel yang memang terlalu tinggi, atau memang kenyataannya hanya sedemikianlah kemampuan para pembuat film dalam menterjemahkan isi sebuah novel di Indonesia. Oleh karena itu, Saya lebih memilih untuk menjadi pembaca setia saja ketimbang beralih menjadi penikmat film.
Buat Iman, ulasan yang bagus untuk menilai sebuah film tanpa membaca novelnya. Keep objective, keep independent, and you will be free forever hehehehe….
Yoga
Subhanallah, luar biasa!!!
Salam kenal Mas Yoga, sepertinya saya harus belajar banyak dari Mas. Kapan2 kita ketmu untuk diskusi yuk, ingin minta share ilmu dati Mas Yoga (worship)
kalau untuk film Laskar Pelangi menurut saya lebih bagus dari novel Laskar Pelangi.
Film laskar pelangi menurut saya bisa mengubah novel yang terkesar lebay menjadi lebih rasional
Saya sempat membaca novel Laskar Pelangi, dan saya terus terang ilfeel membacanya, saya berhenti membaca pada bab yang mendeskripsikan tentang pohon secara sangat mendetail dan terkesan berlebihan. Sampai sekarang nggak pernah saya terusin hehehe.
Mungkin memang film nya lebih bagus ya, sama seperti The Lord of The Ring (goodluck)
Sedikit tambahan, untuk membuat novel trilogy, akan sangat baik jika para penulis novel kita mau belajar dari The Girl with the Dragon Tattoo Trilogy Bundle karya Stieg Larsson: The Girl with the Dragon Tattoo, The Girl Who Played with Fire, and The Girl Who Kicked the Hornet’s Nest. Dengan tokoh yang sama, ada cerita yang berbeda dengan setting yang berbeda pula yang bisa membuat sebuah trilogy menjadi sangat menarik.
Belum baca trilogi ini. Jadi penasaran nih ingin ikutan baca. Ini buku lama atau baru ya mas?
saya sampai saat ini belum membaca novelnya dan belum menonton filmnya. saya tetap ingin menonton film ini dengan tanpa ekspektasi apa-apa
saya termasuk tidak banyak mengharapkan suntikan semangat dari film film yang saya tonton π
Salut deh bro, artinya tanpa suntikan semangat pun ente udah senantiasa semangat ya. Mantaff (rock)
jadi pengen belajar referensi film setelah baca artikel ini, terutama, dengan komentar mas yoga diatas, kereeenn… (banana_cool)
Bener Ul, yuk kita belajar sama Mas Yoga π
untuk buku kedua, saya sudah baca, yang Ranah Tiga Warna, memang betul isinya seputar bagaimana keseharian dan perjuangan si Alif ini unuk mendapatkan beasiswa, begitu detail sampai sampai ada banyak kejadian yang saya pernah rasakan, kisah suka-sukaan (Asmara) Alif yang diceritakan begitu sopan dengan ending yang lumayan ga kebaca pada akhirnya.
Pinjeeem!!!
#gayapreman
boleehh~
^^, tukeran deh~ hihihi sama buku apa aja, asal jangan buku tulis yaa~ hehehe
Tukeran beneran atau cuma saling pinjam nih? #eaaa (haha)
Iman, jadi pengen ketawa waktu ente panggil ane Mas Yoga. Sejak kapan orang sunda dipanggil mas heheehehe…Ane temen ente di SMP 67, kalo gak salah kita pernah sekelas juga di kelas 1. Kalo ente lupa, ya salam kenal lagi aja hahahahahaha…..Rumah masih di Mentas apa udah pindah Man? Boleh lah kapan-kapan kalo ada waktu kita ketemu dan diskusi soal film-film Indonesia.
Kalo untuk novel yang di film kan, saya sedang menunggu kapan kiranya novel bagus (menurut saya) karyanya S. Ito “Rahasia Meede” di film kan. Novel – dengan setting masa kini dan jaman penjajahan VOC dulu (setting bolak-balik) – yang menurut saya sangat menarik ini karena menceritakan banyak sekali rahasia terpendam mengenai Batavia dan sejarah penjajahan Belanda sangat memperkaya wawasan kita tentang Jakarta tempo dulu dan wilayah lain di Indonesia.
Yang menarik dari novel ini adalah si penulis mampu mengeluarkan imajinasi kita mengenai bagaimana kira-kira gambaran kota Batavia jaman penjajahan Belanda dulu sekaligus mampu mengungkap (entah benar atau tidak) sisi lain kota Jakarta, dengan segala misterinya. Kalau novel ini bisa di filmkan, sesuai dengan cerita aslinya, saya bayangkan film nya akan menarik sekali.
Novel terbarunya Iwan Setiawan 9 Summers 10 Autumns juga layak untuk di filmkan menurut saya. Dengan setting Kota Batu, Malang, Bogor, Jakarta, dan New York, novel ini punya nilai lebih dalam rangka memotivasi seseorang untuk bisa berpikir dan bertindak “out of the box” dalam mencapai kesuksesan. Bagaimana kemiskinan, kesederhanaan, dan ketidakberdayaan diolah dengan sangat cantik melalui kata-kata sehingga ia tidak terkesan disesali dan diratapi secara berlebihan, tapi justru mampu menjadi pemicu sesorang untuk sukses.
Tipe-tipe novel motivasi seperti Laskar Pelangi dan Ketika Cinta Bertasbih yang saya baca dalam perjalanan saya menempuh S-2 saya di Australia, sangat bagus untuk dijadikan rujukan betapa kemiskinan dan ketidakmampuan harus dilawan dengan semangat yang tidak pernah berhenti dan mati. Sejujurnya, banyak sekali novel bagus Indonesia yang layak untuk di film kan, sepanjang alur ceritanya tidak dirubah atas dasar kemauan sang produser, stradara atau penulis skenario. Atas nama komersialisasi pasar, terkadang suatu karya jadi korban sehingga ia sering hadir tanpa makna.
-Yoga-
Oalah… ini Yoga tho, anak paling pinter se SMP 67 itu??? ck ck ck… pantas sepertinya kok udah kenal ya #hihihi (haha)
Ane saat ini tinggal di Menteng Atas bro. Kapan2 lah kita silaturahim lagi. Ente juga masih di Menteng Atas?
Rahasia Mede udah ada di rumah tapi belum sempat baca hehehe, nah kalau 9 Summers 10 Autumns ane emang belum punya tuh bukunya. Teman-teman juga banyak yang ngegossipin kalau 9 Summers 10 Autumns itu akan segera difilmkan. Dan 5 cm juga lagi finishing tuh katanya, udah rame di socmed.
Yang saya tau cuma 2 film dengan kualitas lebih bagus dari bukunya : laskar Pelangi dan The Lord of the Ring (goodluck)
saya juga kurang suka dengan film ini gan bagiku nilai insfirednya gak terlalu memberi insfirasi seperti film tetralogi laskar pelangi ataupun film thailand the billionaire (top secret)
Salam kenal Recky π
Bagaimana pun film ini tetap mempunyai spirit yang bagus kok, walaupun dieksekusi secara kurang sempurna (goodluck)
Ooooh…..settingan waktu tahun 70an tho, sepanjang nonton film saya juga penasaran Mas, dibilang jaman baheula tapi kok nasi bungkus yang dimakan bapaknya Alif (dalam bis) itu dibungkusnya pakai kertas nasi bungkus coklat itu ya???Apa di kampungnya Alif memang sdh pake gituan ya jaman itu? Wah…berarti kampung saya yang ketinggalan teknologi perbungkusan soalnya bungkus nasinya masih daun …. Selain itu mobil yang dipake sang kiai sewaktu meminjam bahan-bahan untuk genset itu lho…..setau saya itu mobil akhir 90an atau setidaknya 2000 awal, soalnya saya juga pernah punya mobil seperti itu….he he
Hehehe perhatian sekali nih Yani, kertas nasi bungkus seperti itu memangnya belum ada ya di tahun 70-an? Nah kalau mobil terus terang ane sendiri nggak memperhatikan sih, kalau demikian yang membuat film ini betul-betul nggak teliti ya.
Thanks atas komentarnya Yani, sering-sering mampir di sini ya (goodluck)
sebagai pembanding aja, sebelumnya saya nonton film Umi Aminah, dari judul nya kesan film biasa bisa kita rasakan tapi begitu nonton filmnya, renyah banget, alur ceritanya jelas, greget nya dapet, setuju dengan kang iman, negeri lima menara greget nya kurang dapet, trus Alif tuh pemain utama apa peran pembantunya ya… hampir ga pernah ada suaranya dan ga keliatan perannya. Maaf…… agak kecewa sih ???
Iya bro, Film Ummi Aminah memang keren secara cerita dan pesan. Pemeran Alif memang kurang dapet ya bro, setuju saya π
Betul sekali mas Iman, imajinasi dalam novel lebih hidup dan memuaskan, tapi tontonan yg sudah disuguhkan pun lumayan lah buat visualnya cuma endingnya terlalu terburu-buru ya π
Banyak sekali yang bilang ending nya terlalu buru-buru, jadi seolah film ini tanpa klimaks ya. Sutradara harusnya lebih mengeksplore bagian ending ini π
Saya belum nonton, tapi udah baca novelnya. Kalo boleh jujur, sebenarnya novelnya pun juga kurang greget. Awal-awal baca aja udah bikin saya cepat bosan π
Oh gitu ya? Untuk novelnya saya belum bisa komentar juga, soalnya memang belum baca hehehe (haha)
hmmm…belum nonton filmnya
tapi kalau baca review di atas tiba2 merasa sayang kalau bahan yg sedemikian bagusnya tidak dieksekusi dengan baik
eh, saya juga belum baca novelnya
π
Overall film ini tetap layak untuk ditonton kok bro, tetap memberikan spirit positif bagi yang menontonnya. Namun memang kurang sedikit sempurna hehehe #SusahMilihKata (haha)
Saya sudah baca novelnya. Saya juga sudah baca beberapa tulisan review dari orang yang sudah nonton filmnya. Sebagai orang Padang ingin rasanya menonton film itu, tapi takut nanti kecewa karena penggambaran dalam film tidak sesuai novel. Jadi, nonton film ituh ditunda dulu, hehe…
Tetap tontonlah bro, film ini banyak menyuguhkan adegan dengan dialek Minang yang kental. Buat urang awak pasti mengasyikkan deh nonton ini (goodluck)
wah….saya ketinggalan ni pak, blm nonton,,
Ayo nonton, mumpung masih tayang di bioskop Sufi (goodluck)
Hehehe perbandingannya sadis sama Three Idiot. Coba bandingin sama yang lokal aja yang spiritnya gak jauh beda, Laskar Pelangi misalnya.
Cukup membuka wawasan juga melihat opini dari yang bukan pembaca bukunya π
Selalu ya ane di posisi yang
bukanbelum membaca bukunya hehehe. Etapi… kehormatan dong untuk film ini jika saya sandingkan dengan 3 idiot (thinking)cuma suka dengan novelnya π
Wah Mima seorang kutu buku juga ya. Bikin review novelnya dong (goodluck)
setuju mas.. emang kurang gereget,… π
Hehehe udah nonton berarti ya. Tapi tetep bagus kok nilai2 yang ingin disampaikan di film ini π