“Kita kalah ma, kita kalah…”
“Tidak sinyo, kita sudah melawan dengan sekuat-kuatnya dan dengan sehormat– hormatnya!”
Kemarin lusa (15 Agustus 2019), Film Bumi manusia resmi tayang di bioskop. Sontak saya langsung mewajibkan diri saya untuk menyaksikan film ini. Bukan tanpa alasan film ini menjadi film yang harus ditonton (buat saya), setidaknya ada 2 alasan besar, yaitu nama besar sang penulis buku (Alm. Pramoedya Ananta Toer) dengan segala kontroversinya serta sosok Hanung sebagai sutradara yang biasanya mengerjakan suatu film dengan sungguh-sungguh, pun merupakan sosok yang kerap kali kontroversial.
Alasan lain yang membuat saya ingin menonton film ini adalah penasaran bagaimana Iqbaal Ramadhan yang sangat melekat dengan sosok Dilan mampu bermain dalam peran yang lebih serius, serta satu lagi, film ini berdurasi 3 jam lebih 1 menit. Wow!
Saya bukanlah pecinta buku karya Alm. Pramoedya Ananta Toer, namun yang saya tahu pasti beliau adalah salah satu tokoh besar dalam dunia sastra Indonesia. Beliau bahkan harus mendekam di dalam tahanan dalam membela dan mempertahankan apa yang beliau yakini. Menyaksikan Film Bumi Manusia saya dalam posisi sebagai orang yang tidak mengetahui tentang novelnya sama sekali. An sich murni sebagai penikmat film.
Kutipan Kata Penuh Makna
Sejak di awal adegan film ini telah bertabur kutipan-kutipan (quotes) yang sangat keren. Beberapa di antaranya sering saya dengar, tapi baru tahu bahwa ini berasal dari Buku Bumi Manusia.
“Berbahagialah dia
yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju
karena pengalamannya sendiri.”
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya.”
“Dengan melawan kita takkan sepenuhnya kalah.”
Kutipan-kutipan
ini hadir sebagai dialog dalam Film Bumi Manusia dengan adegan yang sangat pas,
sehingga tampil begitu mengena tanpa terkesan ditempel atau dipaksakan hadir.
Salut untuk penulis skenario kawakan yang memegang dialog film ini, Salman Aristo.
Kisah
Minke (Iqbaal Ramadhan) seorang pelajar pribumi yang bersekolah di sekolah milik Belanda, HBS. Sekolah khusus anak-anak Belanda dan kalangan pribumi priyayi.
Tentu saja pribumi menjadi minoritas di sekolah itu. Nama Minke sendiri adalah sebenarnya berasal dari kata hinaan yang berarti “monyet”. Ini dia sadari beberapa waktu kemudian. Nama sebenarnya Minke adalah Raden Tirto Adhi Soerjo.
Putra seorang bupati tidak menjadikan Minke berbangga, karena memang tidak ada yang bisa dibanggakan seorang pribumi di jaman itu, anak pribumi tetap tidak punya nilai apa pun dibandingkan dengan anak kelahiran Belanda. Teman-temannya yang merupakan keturunan campuran Indo- Belanda juga ternyata tak bisa diharapkan sebagai teman yang baik, karena rata-rata mereka seolah ingin membuang habis darah Indonesia yang mengalir di dalam tubuhnya, dengan berlagak seolah murni berdarah Belanda. Parahnya justru mereka yang paling melecehkan kaum pribumi seperti Minke.
Niat Suurhorf (Jerome Kurnia), kawan Indo-Belanda Minke, mengajak Minke ke rumah Robert Mellema (Giorgino Abraham) yang semula ingin merendahkan Minke sebagai pribumi malah berbuah pertemuan manis antara Minke dan Annelies (Mawar Eva de Jongh), adik Robert. Robert dan Suurhorf merupakan teman satu sekolah Minke, keduanya sama-sama keturunan Indo-Belanda. Sayangnya keduanya juga sama-sama culasnya terhadap pribumi.
Minke menemukan bidadari impiannya dan Annelies menemukan sosok lelaki pribumi idamannya. Keduanya bertemu dan langsung jatuh cinta. Cinta keduanya didukung penuh sang ibunda Annelies, yaitu Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti). Dukungan sepenuh hati dari Sang Bunda bahkan sampai meminta Minke untuk tinggal di rumah mereka. Hmm…
Bukan tanpa alasan Nyai Ontosoroh merestui hubungan anaknya dengan Minke. Sebagai seorang yang terpelajar dan berpikiran modern layaknya seorang Belanda, Minke adalah juga seorang pribumi. Sangat sesuai dengan sosok yang juga ia idamkan kelak mendampingi anaknya. Ia telah merasakan pedihnya menyandang status sebagai nyai, wanita pribumi yang dipaksa menjadi simpanan seorang Belanda. Tanpa status pernikahan yang jelas, seorang nyai tidaklah dianggap keberadaannya oleh kalangan Belanda, dan yang lebih menyakitkan adalah ia pun dipandang sangat negatif di mata pribumi.
Kisah film ini pun berjalan mengisahkan kisah cinta Minke-Annelies yang sedemikian menggebu dengan segala tantangan dan rintangannya. Tidak hanya melulu romansa, kehidupan di era awal 1900 an ini pun sukses ditampilkan bukan sebagai sekedar setting cerita, melainkan benar-benar memberi ruh dan warna ke dalam jalan cerita.
Hanung mampu menghadirkan atmosfir tahun 1900 an awal secara cukup meyakinkan di film ini.
Ketidakadilan hukum saat itu yang memandang pribumi tidak setara dengan kaum Belanda mewarnai seluruh film ini. Film ini banyak bercerita tentang contoh-contohnya. Betapa warga pribumi benar-benar tidak memiliki harga di hadapan hukum Belanda, hukum yang berlaku saat itu.
Bagaimana upaya kaum yang tertindas yang dengan segala kelemahannya untuk tetap berjuang. Minke yang mewakili sosok pribumi terpelajar memilih berjuang melawan ketidakadilan ini dengan pena melalui tulisan-tulisannya yang dipublikasikan di surat kabar. Hal ini digambarkan dengan sangat apik di film ini. Tulisan-tulisannya ternyata mampu membuat repot penguasa Belanda saat itu karena ia memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Ia bisa membakar semangat kaum pribumi untuk turut berjuang membela hak-hak kemanusiannya. Semangat membela hak-hak pribumi serta tuntutan atas ketidakadilan ini pun menyeruak seantero negeri.
181 Menit!
Dalam durasi sepanjang 181 menit ini kita disajikan cerita dengan alur yang naik dan turun sangat frontal. Pada duapertiga bagian film ini saya sempat menduga film ini telah selesai, karena sebuah konflik yang cukup besar akhirnya bisa selesai dengan bahagia.
Ternyata dugaan saya meleset. Selesai konflik besar itu ternyata muncul lagi konflik yang jauh lebih besar. Dan ajaibnya dengan durasi sedemikian panjang saya tetap bisa menikmati cerita yang disajikan tanpa berpikir bosan dan ingin beranjak pergi.
Beberapa kali adegan emosional turut membuat saya ikut “gerimis”. Chemistry antara Iqbal dan Mawar serta Ine Febriyanti merupakan kolaborasi yang luar biasa. Iqbal dan Mawar mampu menghadirkan sosok muda dengan semangat dan segala romantikanya dan Ine mampu hadir menjadi sosok perempuan tangguh namun cerdas. Hanya dari tatapan matanya saja Ine mampu berbicara banyak untuk menjadikan sosok Nyai Ontosoroh begitu hidup dan bernyawa. Salut untuk Ine dengan kematangan aktingnya. Sosok Iqbal yang semula diragukan untuk mengambil peran Minke dalam film ini, terutama dari kalangan pecinta Novel Bumi manusia, berhasil membuktikan kepiawaian aktingnya. Ia berhasil lepas dari imej Dilan yang selama ini begitu melekat didirinya. Ia pun berhasil dengan meyakinkan menggunakan Bahasa Belanda dan Bahasa Jawa dengan cukup fasih.
Eiiits… ini Film 17 Tahun ke Atas Lho
Sesaat sebelum film ini dimulai, seperti biasa muncul screen pernyataan bahwa film ini telah lolos sensor selama beberapa detik. Saat itu saya baru sadar bahwa film ini memiliki rating 17+.
Seingat saya hampir separuh isi bioskop yang saya tonton ini adalah mereka yang berpakaian pelajar, hmm sepertinya mereka masih berwajah anak-anak SMP. Kok bisa ya mereka diijinkan untuk membeli tiket untuk film dengan rating 17+?
Memang cukup beralasan pihak lembaga sensor memberikan rating 17+, karena ada beberapa adegan yang hanya boleh disaksikan oleh orang dewasa, walaupun memang tidak terlalu vulgar.
Jadi, buat yang belum nonton. Tolong ya
jangan ajak keluarga yang belum berusia 17 tahun untuk menonton film ini.
Hiduplah Indonesia raya
Agak kaget ketika detik pertama film ini dimulai, kita diminta untuk berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya. Serentak kami pun semua berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan kita ini. Muncul perasaan agak aneh dalam diri saya, antara heran namun sekaligus juga tiba-tiba menjadi bangga. Menurut saya keren sih.
Belum lagi disambung dengan suara serak khas milik Iwan Fals menyanyikan lagu Ibu Pertiwi yang membuat saya tiba-tiba merinding mendengarnya. Atmosfer nasionalisme benar-benar berhasil dimunculkan di detik-detik awal kemunculan film.
Andika Triyadi dipercaya untuk menata musik film ini. Ia melakukannya dengan baik. Iringan musik yang mendampingi tiap adegan terasa pas dan ada nuasansa kolosal, berhasil membuat film ini terkesan megah namun tidak berlebih-lebihan.
Kadang hening yang tanpa suara sama sekali pun hadir. Semua terasa pas dengan setiap adegan. Walau ada beberapa adegan terasa scoringnya agak berlebihan.
Namun overall penataan musik dalam film ini bagus dan pas.
Tonton deh
Akhirnya saya cuma bisa rekomendasikan tonton deh film ini. Kalaupun sudah tidak tayang di bioskop, anda bisa menunggu bentuk fisik (disk) ataupun digital dari filmnya. Jarang ada film berlatar belakang sejarah semenarik ini dan mampu membangkitkan emosionalitas kita akan rasa nasionalisme. Tapi inget ya, film ini cuma buat kamu yang berusia 17 tahun ke atas.
Bukan tanpa kekurangan, para pemain Belanda dalam film ini terkesan sangat kaku. tampak njomplang sama sekali dengan akting para pemain lainnya. Agak aneh melihat akting mereka yang seperti tempelan dalam film ini.
Selamat menonton
saya penggemar Pramudya, banget, dan saya gak mau kecewa, saya yakin filmnya belom mampu mengalahkan kehebatan novelnya.
baca novelnya pramudya jauh lebih nikmat kayaknya.
Bener. Untuk pecinta novel memang sebaiknya jangan nonton filmnya sih hehehe
Pemilihan Iqbaal Ramadhan sebagai pemeran Minke menurut saya adalah kesalahan yang harus dibayar mahal oleh tim produksi film ini karena gagal tapaki kesuksesan.