Review

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : Cinta Suci Seorang Lelaki

December 23, 2013
loveindonesia.com
loveindonesia.com

Bukan! Buat kamu yang berpikir ini sama atau mirip dengan Film Titanic. Sekedar mendengar judulnya atau melihat posternya memang benak kita langsung tertaut ke sana. Tapi sekali lagi ini sama sekali bukan Titanic, walaupun sama-sama merupakan film kisah romansa yang terkait dengan nama sebuah kapal.

Pertama kali menikmati empuk dan nikmatnya kursi serta hangatnya selimut di Premiere XXI PIM2 benar-benar membuat saya bisa menikmati film berdurasi 2 jam 45 menit ini dengan sangat santai dan nyaman. Hehehe mumpung ditraktir oleh kakak tercinta 🙂

Selain sajian visual yang indah dan memukau ternyata jalan cerita film ini juga lumayan enak untuk diikuti. Tidak monoton dan tidak juga terlampau cepat. Dialek Minang yang sangat kental pun menambah sedap rasa film ini. Kerja bareng penyutradaraan Sunil, DoP  Pinky Mirror dan kameramen Yudi Datau memang menghasilkan gambar dengan pencahayaan dan sudut-sudut pandang yang memanjakan mata.

Presentasi film ini secara keseluruhan sangat patut untuk diapresiasi. Bahkan saya sendiri hampir nggak percaya bahwa film ini digarap oleh seorang sutradara Sunil Soraya yang hanya memiliki track record Film Apa Artinya Cinta (2005).

Sang sutradara terkesan berusaha kuat untuk benar-benar tidak keluar dari novelnya. Dia mencoba membawa atmosfer Hamka ke dalam naskahnya yang digarap secara keroyokan. Naskah film kolosal ini ditangani oleh 3 orang yakni Imam Tantowi (Ketika Cinta Bertasbih), Riheam Junianti (308, Moga Bunda Disayang Allah) dan Donny Dhirgantoro (5 cm).

Kisah

Seorang pemuda berayah Minang dan beribu Makassar bernama Zainudin (Herjunot Ali) yang telah yatim piatu. Dia tidak diakui di negeri Bugis yang memiliki budaya garis bapak dan begitupula di negeri Minang yang memiliki adat garis ibu. Semua kemalangannya berawal dari sini.

Merantau ke Minang, tanah kelahiran ayahnya, hatinya tertambat kepada bunga nagari Batipuh yaitu hayati (Pevita Pierce). Hayati juga gadis yatim piatu, bedanya ia di bawah asuhan sang datuak yang merupakan tokoh paling terpandang di sana. Zainudin tidak bertepuk sebelah tangan karena ternyata Hayati juga memiliki perasaan yang sama.

Kisah kasih Zainudin terhalang tembok adat dan budaya Minang yang menganggap Zainudin bukanlah seorang murni berdarah Minang. Hadir Azis (Reza Rahadian) diantara kisah cinta mereka. Hayati pun akhirnya menikah dengan Azis.

Berhasil bangkit dari keterpurukan akibat patah hati Zainudin merantau ke tanah Jawa bersama Muluk (Randy Danistha – Nidji). Di sinilah semua kisah kebangkitan itu bermula.

Karakter Yang Kuat

Filminx.com

Kembali Herjinot Ali mampu menghidupkan seorang pemuda setia yang kurang beruntung dalam kehidupan cintanya. Sesaat sebagai pemuda rapuh namun di lain waktu mampu menjadi seseorang yang tegar. Letupan-letupan emosi ketika marah bahkan ketika berduka mampu dikelola dengan baik bahkan cenderung memukau. Dalam beberapa adegan bahkan perubahan mimik muka dan getaran bibirnya tanpa sepatah kata pun mampu menggambarkan suasana batinnya. Salut untuk Herjunot Ali.

Pevita Pierce juga cukup mampu untuk mempresentasikan diri sebagai Hayati, gadis Minang yang rapuh, tidak berdaya, namun cukup berani untuk menyuarakan suara hatinya kendati lemah. Dialek Minang nya pun tidak terlalu mengecewakan. Setidaknya demikian menurut Ibu saya yang mengerti bahasa Minang hehehe.

Untuk Reza Rahadian, tidak ada komentar apa pun tentang kepiawaiannya bermain dalam peran apa pun. Bahkan sebagai tokoh antagonis di film ini pun sukses ia lakukan. Aura pemenang Piala Citra memang tidak bisa hilang dari dirinya. Sosok Azis yang begitu hedonis, tidak peduli, dan kasar berhasil Reza hidupkan.

Satu yang cukup mengejutkan adalah kehadiran Randy Danistha. Keyboardis Nidji ini mampu dengan mulus memerankan sosok Muluk sahabat Zainudin. Karakter kocak dan semaunya cukup berhasil dimainkan, kendati memang sosok Muluk ini terkadang sedikit canggung dan seolah terlalu pintar untuk seseorang yang biasa sehari-hari sebagai preman di kampungnya.

Makan Ati Baulam Jantuang

thejakartapost.com

Hampir 1 jam pertama kita akan disuguhkan dengan dialek Minang yang kental. Niscaya jika tanpa terjemahan penonton pasti akan pusing sepuluh keliling menyaksikannya. Film ini mampu menghidupkan dengan detail bagaimana budaya dan adat Minangkabau era 1930-an.

Bahasa Minang yang kaya akan peribahasa dan pepatah bertaburan dalam dialog film ini. Mungkin buat orang Minang yang menyaksikannya akan serasa kembali ke kampung halaman.

Beberapa kata kiasan yang beberapa kali diulang dalam film ini adalah “Makan ati baulam jantuang” (makan hati hingga ke jantung), yang menggambarkan tentang kepedihan hati yang teramat dalam.

Atau pernyataan Zainudin kepada Hayati “pantang pohon pisang berbuah dua kali” yang dimaksudkan bahwa ia tidak mau menerima kembali cinta Hayati. Kata-kata ini halus namun begitu kejam dan sarkastik bagi yang memahami maknanya.

Beberapa Kejanggalan

Hayati yang begitu salihah dan memegang teguh budaya Minang dalam berpakaian dengan amat mudah mengubah haluan cara berpakaiannya menjadi ala barat dan serba terbuka. Di film ini tidak digambarkan peperangan batin atau setidaknya suatu proses paksaan dari luar untuk mengubahnya menjadi berpakaian ala barat tersebut. Hayati dengan mudahnya seolah “langsung merasa nyaman” dengan cara berpakaiannya yang baru. Hingga terkesan ini lahir atas keinginannya sendiri.

Jika cara berpakaian ini karena tuntutan suaminya maka ketika suaminya meninggal pun Hayati tidak berusaha mengubah pakaiannya kembali ke Hayati yang dulu. Suatu yang aneh untuk karakter Hayati. Entah bagaimana ini dalam versi novelnya, kebetulan saya belum membacanya.

Pesta berkumpulnya para perantau Sumatera di Surabaya yang diselenggarakan di rumah Zainudin tampaknya begitu “Belanda sekali”. Secara logika jika ini memang acara berkumpulnya orang-orang Sumatera maka acara nya pun akan berbau Sumatera, bukan malah berbau Belanda begitu.

Ke mana ninik-mamak Hayati ketika ia terpuruk dalam kehidupan rumah tangga hasil pilihan mereka. Apakah memang demikian budaya Minang yang hanya mengantarkan sang kemenakan (keponakan) ke mahligai pernikahan? Setelah menikah maka para ninik-mamak seolah tak peduli lagi dan tutup mata atas apa pun keadaan yang terjadi pada sang kemenakan?

Merinding Nidji

Soundtrack film ini sangat kuat! Terus terang saya sempat merinding mendengar “Sumpah dan Cinta Matiku” nya Nidji dalam beberapa adegan. Lagu ini terasa begitu megah. Suasana tahun 1930-an secara visual dan dialek Minang yang begitu kental dan klasik mampu diseimbangkan dengan nuansa modern dari lagu ini. Terasa klop dan pas.

Memang ada beberapa kali soundtrack hadir agak kurang pas dan terkesan berlebihan, namun masih mendukung menguatkan jalan cerita.

Kaya Pesan Moral

  • Cinta sejati itu menguatkan bukan malah melemahkan, itu adalah salah satu quote positif yang bisa diambil dari film ini.
  • Secara keseluruhan film ini seolah berkata inilah cinta suci dan sejati dari seorang laki-laki. Ia tak lekang oleh masa dan tak lapuk oleh hujan. Cinta suci akan abadi kendati tidak pernah mendapatkan balasan yang diinginkan.
  • Selain itu mempertimbangkan harta sebagai patokan utama dalam memilih jodoh pun tidak selamanya berbuah kebahagiaan.
  • Nasihat dan ilmu tidak selamanya hanya berasal dari seorang alim ulama dan cerdas cendikia, melainkan juga bisa berasal dari seorang yang bukan siapa-siapa. Dalam film ini Muluk yang digambarkan sebagai sosok preman terbukti mampu memberikan nasihat yang menjadi titik balik positif bagi seorang Zainudin untuk bangkit.
  • Menulis dari hati akan sampai juga ke hati yang membacanya. Setidaknya ini digambarkan dari tulisan-tulisan Zainudin yang langsung merebut hati siapa pun yang membaca tulisannya.

Mengisi akhir tahun dengan sebuah film yang menghibur namun sarat nilai positif sepertinya akan menjadi sesuatu yang menyenangkan dan bermanfaat. Dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini pantas untuk dijadikan salah satu pilihan utama tontonan keluarga. Yuk nonton film ini 🙂

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
  1. di novelnya, peran khadijahlah yg bikin hayati jadi berpakaian ala barat itu. dia juga yg nyomblangin hayati ke kakaknya si Azis, hasutan dan cuci otaknya dalam waktu yg lama telah merubah hayati yg lugu menjadi hayati yg tampak di film. mungkin lasan durasi yg membuat peran khadijah di film tidak terlalu kelihatan.

    satu lagi, di novelnya endingnya gak seperti di film. setelah kepergian hayati, Zainuddin menyesali diri lalu jadi pesakitan lagi sampai akhirnya meninggal dunia, versi film lebih manis sih.

    n kenapa orang kampung sangat membenci atau mengacuhkan zainuddin karena dahulu ayahnya karena membela keluarga harus membunuh kerabat sendiri. kemudian ayahnya diusir keluar dari kampung n lalu menetap dan menikah di makasar. jadi bukan sekedar “orang luar” zainuddin itu di anggap anak penjahat.

    1. Owh gitu, wah parah nih si Khadijah ya.

      Endingnya memang lebih OK di film ya, lebih memotivasi positif ke penontonnya. Wah baru tau kalau bapaknya Zainudin punya kisah kayak gitu. Pantas segitu diasingkan banget ya si Zainudin #manggut2

    1. Setuju Goik, film ini memang layak diapresiasi. Secara budget dan lamanya waktu pengerjaan yang hingga 5 tahun memang tampaknya tidak sia-sia 🙂

  2. pas azis mau pergi dan ninggalin hayati dirumahnya zainudin saya udah bisa nebak kalo azis mau nyerahin si hayati ke zainudin tapi yang nggak ketebaknya di aziznya sampe meninggal, saya kira cuma nggak balik2 lagi aja… kalo pestanya saya juga ngerasa janggal itu kan pesta anak2 indo bukan belanda, si belanda ngapain ikutan di pesta kan dia bukan orang suamtera 😀 tapi dari segi cerita film ini keren, si junot juga yang tadinay saya kira kaku banget ternyata memang itu karakternya sampe ending saya malah menikmati karakter junot yang konsisten…

    1. Fim Indonesia yang bagus udah mulai banyak kok. Untuk bulan ini aja ada 99 Cahaya di Langit Eropa, Soekarno, Edensor, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini. Sip, selamat menonton bro 🙂

  3. Mungkin karna posternya itu kali yah? Makanya banyak yang mencibir niru Titanic. Para sineasnya salah bikin poster. Hahaha. Tapi sih, aku sendiri masih ragu nontonnya. Soalnya pernah ada blogger yang bilang, filmnya mengecewakan karna melenceng dari bukunya. Trus aku kurang sreg juga sama pemeran Hayati. Apa ndak ado apo artis turunan Minang yang bisa memerankan Hayati? Onde mande, Pevita itu wajahnya bule sekali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.